Sebuah Hubungan

0 0 0
                                    

Di kediaman Penita yang cukup besar. Gadis imut berpipi dempem itu sedang santai sambil menikmati musik dari ponselnya. Tiba-tiba saja sebuah panggilan masuk dari sang kekasih Rio muncul pada notifikasinya. Ia pun dengan sigap menerima panggilan tersebut.

"Hallo sayang .. ada apa?"

"Peni... ada yang harus ku bicarakan sama kamu..."

"Iya tentang apa?"

"Tentang hubungan kita."

"Maksudnya?"

"Aku mau kita putus saja, maaf ya aku nggak bisa jalani hubungan ini lagi.."

"Hah?! apa apaan ini?!! Nggak ada angin, nggak ada hujan kamu tiba-tiba mutusin aku?!"

"Ya. Aku sudah bosan denganmu. Jadi mulai sekarang kita putus saja. Jangan pernah hubungi aku lagi. "

Seketika panggilan tersebut dimatikan oleh Rio. Saat ia mencoba menghubungi sang kekasih nomornya ternyata telah di blokir. Air matanya pun seketika meleleh dengan derasnya.

"Tega banget kamu Rio!!" ucapnya yang sesenggukan menangis sambil memukul-mukul bantal yang ada di pangkuannya.

"Apa salahku!!!" lanjutnya seraya melemparkan seluruh boneka yang ada di samping kanan dan kirinya.

Saat air matanya mulai sedikit mengering. Tidak sengaja ia melihat fotonya bersama Rio  yang berada di atas meja belajarnya. Ia pun kemudian berdiri dan mengambil foto tersebut. Ia lalu memasukkan foto dan seluruh barang-barang pemberian sang kekasih ke dalam sebuah kardus.

Diiringi air mata yang terus mengalir, Penita lalu mengambil kunci mobilnya dan berjalan menuju garasi sambil membawa kardus tersebut.

Ia pun kemudian mengendarai mobilnya menuju TPS yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan taman kota.

"Sampai jumpa semua kenangan..." ucap Penita yang kemudian melemparkan kardus tersebut ke dalam TPS.

Dengan air mata yang terus menetes tanpa henti, ia kemudian melajukan mobilnya kembali. Ia pun berhenti di taman kota yang sudah nampak sunyi dengan penerangan yang cukup.

Penita kemudian duduk di sebuah kursi panjang. Ia terus menerus menangis terisak-isak tanpa henti. Perasaannya benar-benar hancur.

Tiba-tiba saja suara seorang laki-laki terdengar dari arah sampingnya.
"Penita... kamu kenapa ada disini malam-malam?" Penita pun kemudian menolehkan pandangannya ke arah suara tersebut muncul.

"Rudi...." ucapnya yang terlihat kaget. Rudi kemudian duduk di sampingnya.

"Kamu kenapa nangis Penita ?" tanya Rudi.

"Nggak papa.. " sahut Penita yang netranya mulai memerah lagi seolah ingin menangis.

"Kamu putus cinta ya?" tebak Rudi. Penita pun mengangguk. Ia lalu menundukkan kepalanya  dan meneteskan air mata kembali.

"Sudah jangan menangis lagi...kamu mau coklat? aku ada coklat nih.." hibur Rudi. Ia memang sangat manis meski terkadang gaya  anehnya membuat siapapun gemas.

Penita menggelengkan kepalanya, ia lalu berbicara dengan nada rendah. "Rudi...apa semua pria sama? mengatakan cinta saat mereka tertarik dan mengatakan putus saat mereka bosan?"

"Nggak semua. Contohnya Ayahku. Dia menikahi Ibuku yang sudah di pacarinya selama lima tahun, kemudian kakaku ia menikahi cinta pertamanya yang sudah ia jalin sejak masih SD, dan terakhir aku, laki-laki  yang menyukai Clara hingga kini.." jawab Rudi yang merapikan jambulnya ke atas kembali.

Penita yang mendengar ucapan temannya itu pun seketika tersenyum.
"Ku pikir kamu Playboy, Rudi.."

"Itu tidak benar. Aku itu bukan Playboy. Aku memang menyukai perempuan cantik. Tapi aku tidak pernah menyakiti mereka. Malah kebanyakan mereka yang memperalatku.."

"Jadi dengan Clara.. kamu hanya mengagumi atau sudah jatuh cinta..?"

"Aku rasa jatuh cinta, makanya jatuh bangun di tolaknya aku tetap bangkit. Ada sebuah pepatah mengatakan. Bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian. Dikejar aja cintanya dulu, siapa tau nanti jadian."

Penita pun sontak tertawa. Air matanya yang sedari tadi masih sedikit mengalir tiba-tiba saja langsung mengering seketika.
"Kamu ini masih sempat-sempatnya melawak," ucap Penita sambil menepuk-nepuk tangan laki-laki yang berambut jambul itu.

"Wah! kamu tertawa ya! Aku ini memang berbakat sekali membahagiakan para wanita hemmm..."  Penita pun kembali tertawa. Ia tidak menyangka sesosok Rudi yang sering di cap laki-laki aneh bisa membuatnya begitu bahagia.

********

"Clara. Kamu nggak usah bayar makanannya. Semuanya sudah aku bayarkan.." ucap Verrel.

"Loh? kok Verrel sih yang bayarin. Kan aku yang mau traktir.." sahut Clara yang nampak kaget.

"Nggak mungkin lah aku biarin kamu yang bayar. Kamu itu perempuan dan juga muridku. Ayo kita pulang sekarang.." tukas Verrel.

"Tapi Pak...eh Verrel maksudnya. aku jadi merasa nggak enak sama kamu Verrel..." sambung Clara.

"Nggak papa... ayo kita pulang...anak perempuan nggak baik keluar terlalu malam.."

Clara pun mengangguk. Ia dan Verrel lalu berjalan keluar tenda. Sedetik, dua detik, tiga detik, hingga satu menit berlalu. Clara pun membuka obrolan kembali.

"Verrel..." panggil Clara yang terus berjalan beriringan dengan pemuda tampan itu.

"Iya Clara?" sahut Verrel dengan lembut.

"Boleh aku panggil kamu Bapak saja..? aku merasa nggak nyaman. Berasa murid kurang ajar gitu.." lanjut Clara.

"Haha. Ya sudah silakan saja...kamu memang benar, kita kan Guru dan murid... mungkin... selamanya akan selalu seperti itu.." ucap Verrel sembari menatap lurus jalanan yang terlihat mulai lengang itu.

Clara pun sontak kaget mendengar hal itu. tatapan matanya seketika menjadi berkaca-kaca.

"Pak..."

"Iya?"

"Apa Pak Verrel ada rencana untuk menikah dengan Bu Ifa?" Verrel pun menghentikan langkah kakinya. Ia lalu menghadapkan tubuhnya ke arah Clara dan menatap lekat gadis remaja tersebut.

"Nggak. Dia itu sahabatku.. aku tidak pernah jatuh cinta dengan sahabatku sendiri Clara," jawab Verrel dengan tatapan serius. Clara pun terdiam. Seketika pandangan mereka saling bertaut seolah mengisyaratkan sesuatu.

********

Brummmmm

Bunyi mobil Clara terdengar nyaring memasuki ruang garasi. Ia pun kemudian keluar dari mobilnya dan memasuki rumah.
Saat berjalan menuju tangga, ia melihat kedua bodyguard setianya berdiri dan nampak tertunduk di depan sang Ayah.

"Clara. Kesini kamu !" ucap sang Ayah dengan suara tegas. Clara pun lalu berjalan mendekati Ayahnya tersebut.

"Ada apa Yah?" tanya Clara yang mulai merasa takut melihat ekspresi sang Ayah.

"Jam berapa ini? sudah jam 10 Clara. Kemana saja kamu?! anak konglomerat ternama kelayapan malam-malam tanpa ada bodyguard yang mendampingi. Kamu pikir bagus?!! kamu pikir sudah hebat?!!" bentak sang Ayah yang terlihat kesal dengannya.

"Ma..maaf Yah. Aku tadi ke toko kaset dan bertemu guruku, jadi kami mengobrol," sahut Clara dengan suara mengecil.

"Dengar Clara. Pesaing bisnis Ayah banyak! kalau mereka sampai berniat jahat kepadamu bagaimana?!! ingat ya! Mulai besok.Tidak ada lagi keluar tanpa bodyguard. Kalau kamu tetap tidak menuruti keinginan Ayah. Mereka berdua akan Ayah pecat dan semua fasilitasmu akan Ayah cabut!" tegas sang Ayah.

Pria berumur yang terlihat gagah itu kemudian langsung berjalan pergi meninggalkan Clara dan kedua bodyguards tersebut dengan ekspresi penuh kekesalan.

"Nona Clara.. maafkan kami..." ucap Pak Sarto salah seorang bodyguard tersebut.

"Iya nggak papa kok Pak... ini salahku.." sahut Clara.

"Selalu saja begitu, saat aku mulai merasa bahagia..kapan Ayah mau sekali saja menuruti keinginanku..." batin Clara.

Mengejar Kekasih Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang