Kudengar langkah kaki dua orang perempuan itu telah keluar kamar mandi. Aku pun keluar dari dalam kloset dengan pikiran penuh dan amarah yang semakin menjadi-jadi. Berulang kali aku mencoba menenangkan bayiku yang ada di dalam perut. Masalah ini tak boleh membuatku stress hingga membahayakan janin dalam kandunganku yang baru berusia tiga bulan.
Kutatap wajahku baik-baik di dalam cermin lalu kubasuh dengan air dari wastafel, seolah menyadarkan diriku sendiri jika ini mimpi. Mimpi buruk mengetahui bahwa suami pintar bermain tak tik.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap keluar kamar mandi. Aku tak ingin Jingga menungguku lama. Aku tak ingin ia curiga kepadaku nantinya.
"Jingga ayo cari makan!" ajakku sesampainya aku di mobil tempat ia menyandarkan dirinya.
"Eh? Mbak,"katanya kaget menatapku. "Ayo!" serunya semangat.
"Di mana rumah makan yang enak, Ngga?" tanyaku padanya.
"Di mana ya, mbak?" katanya seraya mencari-cari dengan bingung. Ketara sekali dia kalau memang baru kerja.
"Kamu emang masih baru?" tanyaku spontan dan menjebak.
"Eh? Nggak kok mbak, aku udah lama kerjanya...." jawabnya gugup. Aku menoleh kepadanya seraya masih memegang kemudi mobilku dengan sangat baik.
"Maksudku lokasi proyek ini, lokasi kerja mas Hans yang di sini. Bukan berapa lama kamu kerja." jelasku dan ia tersenyum nyengir seraya menggaruk kepalanya yang kuyakini tak gatal sama sekali.
"Baru beberapa minggu mbak... " katanya.
"Tapi kok mas Hans bilang ke aku udah enam bulan, ya?" tanyaku dan kembali ia bingung harus menjawab aku. Padahal aku pun tak tahu, aku hanya berbohong demi memancing Jingga.
"Itu mbak!" serunya seraya menunjuk sebuah rumah makan. Sengaja ia melakukan hal itu karena ingin menghentikan obrolan kami.
"Oh ya! Kebetulan, aku juga lagi pengen makan ikan seger-seger." kataku seraya mengarahkan kemudi masuk ke lapangan parkir dengan sangat hati-hati.
"Haduh! Mampus aku!" kata Jingga seraya menunduk tiba-tiba di bawah dashboard mobil.
"Kenapa Jing?" tanyaku memerhatikannya yang bersembunyi di bawah dashboard. "Kenapa Jing? Jingga?!" tanyaku heran.
"Cewek topi merah udah pergi, mbak?"
"Hah? Siapa?" tanyaku seraya memerhatikan jalan.
"Topi merah!" seru Jingga. Aku melihat ke sekitar dan benar apa kata Jingga, ada seorang perempuan yang bertopi merah baru saja keluar dari rumah makan itu tapi masuk lagi ke dalam.
Aku sedikit memiliki ide gila.
"Udah. Udah pergi." kataku
"Beneran? Yakin?" tanya Jingga.
"Lihat saja sendiri!" seruku menantang. Jingga perlahan keluar dari persembunyiannya dan menoleh ke kanan kiri, mencari sosok perempuan bertopi merah tersebut. Ia hanya tak tahu bahwa perempuan yang ia cari dan juga ia takuti tengah kembali ke dalam restaurant.
"Mbak ... aman, kan?" tanyanya dan aku mengangguk ke arahnya.
"Jadi makan sini atau pindah saja?" tanyaku padanya. Kulihat wajahnya bingung dan sedikit meragu. Kuharap ia meminta untuk makan di sini dan tidak pindah, karena aku ingin memanfaatkan situasi yang ada saat ini.
Kudengar suara perutnya berbunyi dan aku sedikit bahagia mendengarnya.
"Di sini saja mbak ...." katanya kemudian dan aku tersenyum senang mendengar sarannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...