"Selamat, istri anda hamil!" kata dokter perempuan itu kepada suamiku. Aku yang masih lemas dan tak berdaya seketika tercengang kaget karena bahagia dan juga haru mendengar apa yang baru saja dokter itu katakan kepada suamiku. Aku bangkit dari posisiku berbaring dan menatap dokter dengan kerudung hijaunya yang tersenyum ke arahku turut senang. Wajah suamiku bahkan terlihat bahagia, lenyap sudah semua kegundahan dan kegelisahan di hatiku.
"Dokter yakin?" tanyaku lagi seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Ini bukan mimpi, kan mas?" tanyaku seraya menampar pipi kiriku dan terasa sakit. Mas Hans sampai berdiri dari kursinya melihat aksiku yang melukai diriku sendiri.
"Saya hanya melakukan test ringan, test pack karena gejala yang dirasakan ibu tadi merujuk ke kehamilan trisemester pertama. Untuk meyakinkannya, kita bisa melakukan USG 2D sekarang."
"Iya dok." seru suamiku setuju dengan sangat antusias. Aku juga mengangguk pasti.
"Baiklah. Anda akan saya hubungkan ke dokter obgyn sekarang." katanya seraya mengangkat teleponnya.
***
Dengan dada yang berdebar-debar aku dan suami masuk ke ruangan yang tersedia alat USG 2D sekaligus 4D. Kebetulan lagi dokter yang berjaga bernama dokter Aida, beliau sedikit berumur dan sangat ramah. Dengan tenang beliau memintaku berbaring. Dadaku bergemuruh hebat kala gel dilumurkan di perutku dan sebuah alat berputar-putar di perutku.
"Baiklah, mari kita sapa adiknya..." katanya. "Wahh, selamat, kembar!" serunya lagi dengan senyum yang mengembang sempurna.
"Apa dok?" tanya suamiku tak percaya dan ternganga, sama halnya denganku yang melongo mendengar kata dokter tersebut.
"Apa ini kehamilan pertama?" tanya dokter itu setelah melihatku meneteskan air mata haru bahagia. Aku tak menyangka pertolongan Allah serta doa-doaku selama ini dijawab secepat ini olehNya dengan pemberian yang luar biasa menakjubkan.
"Iya dok." jawab suamiku.
"Pantas. Selamat ya. Calon adiknya kembar dan sehat! Detak jantungnya sehat, dan usia kehamilannya 9 minggu." imbuhnya lagi seraya menyudahi pekerjaannya denganku. Si perawat tersenyum turut senang padaku seraya membersihkan sisa-sisa gel di perutku. "Saya beri vitamin, ya." kata dokternya seraya meresepkan vitamin untukku.
Aku bangkit dari posisi berbaringku dibantun mas Hans. Senyum mas Hans terus saja berkembang dan terlihat indah di wajahnya. Aku pun begitu, perawat bilang aku terlihat sehat seketika saat mengetahui kalau aku hamil. Setelah menerima resep dari dokter, kami keluar ruangan dan mas Hans langsung memintaku menunggu di tempat duduk yang disediakan di luar ruangan POLI 2. Sedangkan ia berlari menebus vitamin di apotik rumah sakit.
Sudah lama aku tak melihat mas Hans dengan semangatnya yang menggebu-gebu tersebut. Aku bahagia melihatnya seperti itu dan bersyukur atas karunia yang ada di perutku.
Ponsel mas Hans bergetar dan berdenting sekali, sebuah pesan masuk dari sekretarisnya. Alisku terangkat sedikit. Keherananku muncul saat mencocokkan pesan masuk dengan jam malam hari ini. Karena mas Hans yang kutahu tidak suka menerima telepon atau pesan apapun soal pekerjaannya jika lewat jam tujuh malam.
Iseng, aku membuka pesan tersebut dan aku cukup tercengang membacanya.
'[Mas, maaf, sepertinya lip glossku ketinggalan di saku jasmu. Besok tolong bawa ke kantor,ya.]'
Darahku seketika mendidih membaca pesan teks tersebut. Bagaimana bisa seorang sekretaris mengirim pesan teks seperti itu? Bagaimana mungkin ini terjadi. Terlebih tak ada jejak pesan yang tertinggal selain pesan teks barusan.
Aku menghapus pesan teks itu ketika kulihat dari jauh mas Hans berlari menuju diriku, bukan hanya pesannya, tapi juga seluruh chat yang ada aku kembalikan ke 'setelan pabrik'.
"Ada telepon?" tanya Mas Hans sesampainya ia di hadapanku setelah memerhatikanku yang memegang ponselnya. Aku menggeleng pelan seraya menyerahkan ponselnya. Ia menerima ponsel dan mengecek panggilan.
"Ada pesan, tapi saat kubuka, wa minta perbaikan lalu melakukan update sendiri dan semua chat yang ada sepertinya terhapus otomatis..." kataku berbohong. Ia mendongak ke arahku dengan tatapan heran sekaligus kagetnya. Setelah itu ia memeriksa ponselnya dan raut wajahnya berubah, seolah ia ingin marah tapi ia tahan sebisa mungkin.
Pesan itu membuatku yakin bahwa suamiku berselingkuh di belakangku. Hal yang aku bingungkan sekarang adalah aku tengah hamil anaknya dan sebenarnya aku menyayangkan kehamilanku jika benar adanya ia selingkuh. Aku tak sanggup menata hatiku, terlebih aku takut akan apa yang bakalan terjadi di masa depan. Aku tak ingin hidup seperti Ibuku, Ibuku yang seorang diri memperjuangkanku karena Ayahku lari dengan perempuan lain. Ayahku bahkan tak pernah mencoba menghubungiku. Ketika aku menemukan Ayahku, aku sangat ingat sekali hari itu dan sampai kapanpun aku tak akan melupakan kejadian hari itu sampai beberapa hari setelahnya.
Hujan. Ketika aku berjalan dari terminal ke alamat menuju rumah Ayahku, dadaku bergemuruh hebat. Perasaan tak sabar ingin bertemu, rindu yang tertahan bertahun-tahun dan pelukan hangat saat aku kecil ingin sekali aku rasakan kembali saat bertemu dengan Ayah.
Rumah berwarna hijau dua lantai dengan gerbang berwarna emas yang sangat tinggi membuatku sedikit gugup. Pasalnya rumah mewah di hadapanku sangat jauh berbeda dengan rumah yang kutinggali dengan ibuku. Ada yang bilang Ayahku bahagia karena ia memiliki istri yang kaya tak seperti ibuku. Tapi komentar jelek itu kutepis karena aku lebih percaya bahwa Ayah dan Ibu berpisah karena kesalahan Ibu yang tak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti pinta Ayah.
Bel rumah kutekan seiring dengan semakin bergemuruhnya dadaku. Pintu mewah berwarna putih itu terbuka dan keluarlah sosok lelaki tampan meski uban telah mewarnai sebagian kepalanya itu.
Ayah.
"Ya?" panggilnya. "Cari siapa?" tanyanya lagi. Rupa-rupanya ia tak mengenaliku. Aku lupa, saat aku ditingglkan Ayah, usiaku baru lima tahun dan aku kembali mencarinya di usia 18 tahun. Jelas saja ia sudah tak mengingatku lagi.
"Ayah... Aku Marissa... " kataku pelan seraya berkaca-kaca. Matanya menatapku penuh dengan keterkejutannya dan keheranannya. Sebelum datang kemari tadi aku sangat yakin kalau ia akan memelukku segera setelah tahu aku jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya. Tetapi melihat ekspresinya semakin lama menatapku dengan heran dan berulang kali menghela napas berat sembari menoleh ke arah rumahnya, aku menyadari bahwa kehadiranku adalah beban untuknya...
"Marissa!" panggil suamiku sedikit berteriak hingga seluruh lamunanku sirna seketika. Aku menatapnya dengan seksama seolah aku sedang mencari ekspresi Ayahku dulu saat pertama kali aku berkunjung di wajah suamiku.
Trauma karena perceraian orang tua masih menghantuiku. Terkadang ketika aku sangat sedih karena melihat beberapa temanku memiliki keluarga yang lengkap, aku merasa sangat iri dan bertanya kepada Tuhan, kenapa ujianku berat sekali. Berbagai pertanyaan muncul di otakku, salah satunya yang terkuat adalah jika dua orang pasangan berjanji menyatu dalam suatu ikatan mengapa salah satunya berani berkhianat? Bukankah sebelumnya-sebelumnya mereka sudah sangat yakin hingga lahirlah aku sebagai bukti cinta mereka? Kenapa mereka kejam padaku?
"Kamu mikirin apa sih?" tanya suamiku cemas.
"Lip gloss itu, milik siapa?" tanyaku. Wajahnya nampak kebingungan. Ada dua kemungkinan yang sedang terjadi saat ini, yang pertama yakni lip gloss itu memang sengaja sekretarisnya taruh ke saku suamiku agar aku mengetahui hubungan gelap mereka dan yang kedua ini cara sekretaris suamiku mendekati suamiku dengan membuatku dan suami bertengkar padahal mereka sebenarnya belum memiliki hubungan yang spesial. Siapa tahu ketika aku dan suami memutuskan berpisah ia akan memasuki tempat di hati suamiku, kan?
Tapi jawaban suamiku akan menyudahi rasa penasaranku saat ini.
"Sepertinya itu milik sekretarisku. Tapi aku tak tahu bagaimana bisa ada di jasku!"
"Oww... "
"Boleh aku bertemu sekretarismu?" tanyaku dan ia mengangguk berat karena bingung harus bagaimana menjawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...