Sudah dua hari aku tinggal berdua dengan Ibu dan entah mengapa rasa-rasanya aku tak tenang. Salah satunya adalah ketakutan akan kelakuan mas Hans diluar sana. Aku takut memikirkan hal yang tidak-tidak. Setiap kali aku memikirkan hal yang tidak-tidak, aku mengusap lembut perutku yang membuncit.
Aku mencoba membuat diriku sibuk dengan mengerjakan outline novel, tapi yang ada hanyalah coretan-coretan tangan tak jelas. Aku menutup layar laptopku dan kembali bermain ponsel. Menonton salah satu drama korea menjadi pilihanku mengatasi jenuh dan gundah yang melanda. Dan baru juga drama itu setengah jalan, aku sudah merasa sangat bosan.
Aku meraih ponselku yang kulempar begitu saja di atas kasur. Aku menatap foto mas Hans dan diriku saat kami menikah. Pernikahan sederhana yang kami gelar di sebuah masjid, sahabat mas Hans yang jadi penghulu saat kami melakukan ijab. Kebaya putih yang dibuat sendiri oleh Ibuku membuatku tampak anggun dan cantik.
Wajah Mas Hans terlihat senang dengan senyum yang mengembang, begitupun dengan diriku yang bergelayut manja di lengan kirinya.
Aku masih ingat dengan jelas bahwa sebelum kami menikah, mas Hans berulang kali bertanya padaku. "Apa kamu benar-benar yakin padaku, Marissa?" tanyanya.
Aku mengerutkan kening karena sudah puluhan kali ia menanyakan hal yang sama. "Apa ada yang membuatku meragu padamu?" tanyaku balik.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." Katanya serius dengan mata yang menatapku gamang, bingung, tajam dan entahlah. Aku tak bisa mengartikannya.
"Ke mana?"
"Besok kau akan tahu."
"Tapi lusa kita akan menikah, mas... "
"Maka dari itu aku ingin mengajamu ke suatu tempat, Marissa... " katanya lagi.
"Baiklah... Baiklah... "
Semenjak pertemuan kami lagi dengan mas Hans kala itu, aku tak ingin lama-lama melangsungkan pernikahan dengannya. Aku memintanya segera memintaku ke Ibu. Dan ketika ibu setuju aku dan dia menikah, aku segera memintanya menikahiku di bulan yang sama. Otomatis dia kaget, kukatakan padanya kalau aku tak ingin kehilangan dia lagi. Jadilah kami pergi ke Bandung mencari restu Ibunya, mama mertuaku sekarang, tapi yang ada Mama malah memintaku dan mas Hans pergi dari rumah dan tak ingin dengar pernikahan lagi dari mulut mas Hans.
Hatiku sakit saat itu, dan hari sudah sangat gelap saat kami melangkahkan kaki keluar rumah. Satu-satunya yang tersisa dari otak kami adalah mencari penginapan terdekat sebelum kami memutuskan kembali pulang ke Malang.
Pukul sepuluh malam akhirnya kami menemukan sebuah penginapan yang masih menyediakan kamar kosong setelah kami memasuki lima hotel sebelumnya dan semuanya penuh. Bagaimana tidak penuh? Hari itu adalah tanggal merah dan weekend pula, jadi banyak keluarga yang memutuskan untuk berlibur panjang.
"Hanya ada satu kamar yang tersisa." kata petugas hotel itu kepada kami. Aku dan Mas Hans saling pandang bingung. Petugas lelaki di hadapan kami menunggu.
"Kita cari tempat lain?" tawarnya padaku.
"Aku sudah lelah mas, aku takut kalau kita tidak akan dapat kamar lagi setelah ini karena hari sudah sangat malam. Dan jika tiba ke sini lagi, bukan tak mungkin kamarnya akan terisi... " kataku seraya melirik petugas yang berdiri di balik meja resepsionis.
"Pesan kamar itu, mas." kata Mas Hans akhirnya. Aku bernapas lega. "Double bad, kan mas?" tanya Mas Hans memastikan.
"Maaf pak, single bad." kata petugas itu. Mas Hans kembali menatapku sejenak lalu ia akhirnya mengangguk ke arah petugas tersebut.
Setelah menerima kunci, aku dan mas Hans langsung menuju kamar yang telah kami pesan. Penginapan yang kami temukan hanya berlantai tiga, setiap lantai ada sekitar 6-7 kamar dan kami berada di lantai dua.
Kamar yang kami pesan lumayan luas dengan kamar mandi dalam yang bersih dan wangi. Harga penginapan inipun terbilang cukup murah.
Mas Hans menawarkan kamar mandi padaku sebelum ia menggunakannya. Aku pun mengangguk dan bergegas menuju kamar mandi yang tersedia. Seluruh tubuhku terasa lengket dan bau. Seharian berada di jalan membuat tubuhku merasa sangat letih, jadi ketika aku berendam air hangat di bathub aku tertidur tanpa sengaja dan bunyi gedoran pintu kamar mandi akhirnya menggugah mataku yang masih terasa sangat berat.
Suara mas Hans yang syarat cemas itu segera kusahut. Aku bergegas menyelesaikan ritual mandi dan hanya mengenakan bathrobe yang telah disediakan oleh pihak penginapan di dalam kamar mandi.
Ketika aku membuka pintu kamar mandi, kulihat wajah mas Hans yang menatapku cemas lalu ia bernapas lega.
"Maaf mas, aku ketiduran." kataku.
"Hati-hati, Risa, bagaimana kalau kau tenggelam dalam tidur tadi?" tanyanya dan hanya kujawab dengan senyuman kecil.
Mas Hans kemudian masuk ke dalam kamar mandi saat aku menuju kamar dan membuka koperku untuk mencari baju mana yang akan kukenakan untuk tidur. Sekilas aku melirik jam di dinding dan tersenyum kecil saat menyadari bahwa aku telah menghabiskan satu jam setengah di dalam kamar mandi. Pantas saja mas Hans khawatir.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari saat mas Hans keluar kamar mandi lengkap dengan kaos dan celana pendek yang melekat pada tubuhnya.
"Kok belum tidur?" tanyanya padaku yang duduk di lantai sisi kamar tidur. Untung lantai kamar ini hangat dengan karpet bulu yang lumayan tebal.
"Belum ngantuk." ujarku berbohong. Aku hanya bingung dengan situasi saat ini. Aku berdoa agar pagi hari segera muncul dan kami bisa langsung check out dari hotel.
"Tidurlah, Risa, besok kita coba ke Mama." kata mae Hans lagi. Aku sedikit kaget mendengarnya, teringat bagaimana reaksi Mama tadi saat mas Hans membawaku. Tanpa kata-kata. Hanya tatapan matanya yang tajam menatap aku dan mas Hans bergantian. Seperti ia dengan sangat siap akan menguliti kami masing-masing.
"Kamu tidur di atas dan aku tidur di bawah." kata mas Hans seraya menarik selimut dan satu bantal beserta satu guling ke bawah. "Aku pake ya selimutnya, gak pa-pa, kan?" tanyanya dan aku hanya mengangguk pasrah lalu naik ke ranjang.
Aku lumayan lega karena nyatanya mas Hans tahu batasan.
Tak lama setelahnya mataku yang sudah terasa sangat berat mulai menyiksaku perlahan. Aku berkedip-kedip ringan seraya menatap mas Hans yang tepat berada di bawahku telah terlelap sempurna dengan dengkuran halus yang menggoda telingaku.
Perlahan mataku terpejam karena lelah yang sudah mengambil alih jiwa dan ragaku. Aku tertidur dengan irama dengkuran halus mas Hans.
Aku merasakan tubuhku kedinginan. Aku merasa berada di daerah kutub utara. Perlahan tubuhku terasa kebas di tangan dan kaki yang terasa dingin. Aku mencoba membuka mataku dan samar-samar kulihat mas Hans tertidur pulas di depanku.
Tidak mungkin mas Hans tidur di depanku, kan? Ini pasti hanya guling yang menyerupai mas Hans.
Tanpa ragu aku mendekat dan mendekap mas Hans yang kukira guling itu.....
Saya open PO buku ini, ya! Yuk dioreder, bisa lewat saya atau langsung ke penerbitnya. Bisa kontak saya di 081357379532. Penerbit LovRinz. Tapi kalau sama saya, akan saya diskon kembali dari harga PO yang 98000 akan saya jadikan 90000 saja (diluar ongkir)
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...