Kebahagian dan kerisauan meliputi hatiku terus menerus. Kehamilan ini adalah suatu hal yang seharusnya membahagiakan untukku tapi nyatanya aku malah kepikiran soal perselingkuhan mas Hans dengan sekretarisnya. Janjinya mempertemukanku dengan sekretarisnya tak bisa dilaksanakan sesegera mungkin, pasalnya mendadak suamiku harus pergi lagi ke luar kota. Dan ini membuatku semakin risau dan was-was sepanjang waktu.
"Bu Marissa!" teriak bu Leni, tetangga yang berada di ujung blok perumahan tempatku tinggal. Dengan senyum yang mengembang dan hasil membeli sayurannya di bang Ojan ia menghampiriku tanpa meminta ijin padaku sama sekali. Langsung saja ia membuka pintu pagar rumahku dan masuk begitu saja.
"Tahu bu Retno? Itu tuh yang bertengkar sama jeng tempo hari saat arisan PKK." katanya bisik-bisik sembari menatap sekitar, takut kalau-kalau aksi mata-mata dan gossip tercepat diketahui orang lain.
"Kenapa emang, bu?" tanyaku padanya.
"Sssttt... " katanya seraya meletakkan telunjuk tangan di bibirnya. Aku mengerutkan alis melihat sikap anehnya tersebut. "Jangan keras-keras!" imbuhnya sembari celingukan kanan kiri.
"Kenapa sih bu?" tanyaku lagi, kali ini dengan suara lebih pelan dari biasanya.
"Itu... Suami bu Retno ketahuan selingkuh! Parahnya, udah punya anak dari madunya!" katanya. Aku menoleh dan menatap heran ke arah bu Leni. Antara kaget, tak percaya dan heran. "Pasti jeng Marissa gak nyangka, kan? Iya! Sama! Saya juga gak nyangka sama sekali, wong pak Satrio itu solehnya ampun-ampun dan rasa-rasanya gak mungkin banget kalau mau selingkuh lah ini ternyata malah udah punya anak loh dari madunya!" serunya berapi-api. Aku terdiam, teringat lip gloss itu beberapa waktu lalu.
"Ibu denger dari siapa? Sapa tahu cuka gossip... " kataku padanya.
"Pergi! Pergi kamu dari sini!" teriak seseorang. Aku dan bu Leni seketika kaget mendengarnya. Kami saling pandang sebelum akhirnya berjalan mendekat ke arah pagar rumahku. Kulihat beberapa tetangga-tetanggaku juga keluar rumah dan mendekat ke pagar rumah mereka, menyaksikan suara siapa yang baru saja berteriak mengusir.
Rumah bu Retno kebetulan berada tak jauh dari rumah, hanya lewat dua rumah saja, jadi saat ini aku bisa melihat dengan jelas kalau bu Retno tengah menatap suaminya berapi-api dengan napas yang naik turun. Di tengah-tengah ia dan suaminya yang berdiri di teras rumah ada koper teronggok rapi di sana.
"Pergi dari sini!" perintahnya lagi. Aku memandang bu Leni yang berdiri di sebelahku sesaat lalu kembali menatap perkelahian antara bu Retno dan suaminya yang tertunduk bersalah.
"Papa! papa! Jangan pergi! Jangan!" teriak anak kecil dari dalam rumah. Lelaki kecil berusia lima tahun itu merengek memohon kepada Mamanya-Bu Retno- agar tak mengusir ayahnya keluar rumah. Di sisi pagar kulihat si sulung berdiri terpaku dan terdiam. Ia menatap Ayahnya, ibunya dan si kecil yang ditahan ibunya dengan tatapan nanar.
"Tunggu apa lagi? Pergi dari rumahku!" teriak bu Retno lantang. Dari teriakanya ada nada kekesalan dan kekecewaan yang beradu jadi satu ditambah rengekan serta tangisan Satria.
Pemandangan itu membuat mataku merah. Pemandangan tak menyenangkan itu menarikku kembali ke masa lalu. Dulu Ibu tak mengusir ayah tapi Ibu yang angkat kaki dari rumah seorang diri lalu aku mengejarnya di tengah hujan deras. Memintanya kembali ke dalam rumah tapi ia tak mau. Aku masih ingat dengan jelas wajah ibu yang basah oleh hujan mengatakan bahwa hidupku akan lebih terjamin jika aku tinggal dengan ayah dan bukan dengan dirinya. Tapi aku tak mau tinggal dengan ayah. Waktu itu sebelum ibu memutuskan angkat kaki dari rumah, selama sebulan lamanya mereka bertengkar dan Ayah sering berteriak ke arahnya, mengucapkan beberapa hinaan kepada ibu yang membuat telingaku sakit mendengarnya. Tiga hari sebelum ibu benar-benar pergi, Ayah membawa perempuan lain tinggal bersama kami. Belakangan aku tahu perempuan itulah penyebab ibuku pergi dari rumah setelah aku yakin bahwa ayahku sering tidur ke kamar perempuan itu dan bukannya ke kamar ibuku.
Teriakan Satria membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru menghapus air mataku sebelum bu Leni mengetahuinya. Satria mengejar Ayahnya, sama sepertiku waktu kecil yang mengejar ibu. Bedanya Satria mengejar Ayahnya yang bersalah karena selingkuh sedang aku mengejar ibuku karena kasihan ia memilih angkat kaki dari rumah dan tak mengajakku karena memikirkan masa depanku.
Aku masuk ke dalam rumah dan membiarkan bu Leni begitu saja di pagar rumahku. Aku tak sanggup melihat pemandangan itu, pemandangan yang begitu mengerikan buatku. Berulang kali aku meletakkan dan mengelus-elus perutku seraya mengucapkan istighfar berkali-kali. Aku benar-benar tak ingin nasib anak-anakku sepertiku dulu. Benar-benar tak sanggup aku jika harus begitu.
***
Aku memandang jam yang bertengger di dinding. Pukul tujuh malam. Selama masa kehamilan mas Hans berjanji akan sering pulang dan menemaniku di rumah. Dan syukurlah hari ini ia akan kembali pulang ke rumah.
"Assalammualaikum!" serunya seraya masuk rumah. Pintu rumah sengaja kubuka untuknya. Karena aku melamun, aku jadi tak bisa mendengar suara mesin mobilnya telah terparkir di garasi.
Aku menyapanya dengan senyum hangat dan ia juga tersenyum bahagia melihatku. Dia mengecup sekali keningku dengan sangat dalam sebelum mengecup perutku setelah meraba-rabanya dengan sangat lembut. Aku terbuai dengan sentuhan hangat dan kepeduliannya itu. Rasa-rasanya ia tak mungkin selingkuh dariku jika ia seperhatian ini padaku, kan?
Aku mengajaknya makan malam bersama. Hari ini spesial aku masak Ayam bakar bumbu rujak kesukaannya. Dengan lahap ia menyantap makanannya seraya terus saja bergumam kalau masakanku enak.
"Mas... Tahu gak sih tadi pagi ada keributan di sekitar sini?" tanyaku mulai angkat bicara. Ia mendongak dan memandangku tak peduli seraya menyendok kembali nasi ke piringnya. "Itu... Suami bu Retno ketahuan selingkuh istrinya!" seruku. Seketika itu pula makanan yang ada di mulutnya keluar dan menyembur ke wajahku. Aku tak memerhatikan wajah kagetnya karena aku sendiri kaget dengan semburan makanan yang berakhir ke wajahku.
Mas Hans buru-buru mengambil tisu dan melapnya di wajahku. Aku mengambil tisu itu dari tangannya dan membersihkan sendiri wajahku dari nasi-nasi yang menempel.
"Sebentar sayang aku mau ke kamar mandi... " katanya padaku seraya berdiri dari meja makan dan berlalu ke kamar mandi segera. Aku mengerutkan kening melihat tingkah anehnya dan memilih tak peduli kemudian.
Ponsel di mejanya berbunyi dan bergetar sedikit. Iseng, kuraih ponselnya dan membaca pesan wa kecil yang masuk ke notifikasi. Aku ternganga kaget membacanya.
'[Hans, aku ketahuan selingkuh dari istriku]'
'[Apa yang harus kulakukan, Hans?']
'[Ayolah Hans, kasih tahu aku!]'
[Bukankah kau lebih tahu dan berpengalaman dalam hal ini?]'
Apa maksudnya dengah berpengalaman? Kenapa suami bu Retno meminta saran dari suamiku? Bagaimana mereka bisa kenal dekat sampai berkirim pesan begini?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otakku. Saat aku berusaha membuka pesan dan ingin membaca lebih jelas, baru aku sadari mas Hans telah mengubah kata sandi ponselnya...
Ada apa sebenarnya ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Roman d'amour"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...