"Mama!" pekikku melihat Mama jatuh pingsan. Suaraku yang cukup lantang itu sontak saja membuat orang rumah berbondong-bondong ke depan. Dua orang perempuan adik mas Hans yang terkejut melihatku dan Mama yang pingsan di dekapanku.
Mereka berdua melongo di tempat mereka lalu ketika aku berseru memanggil mereka, barulah mereka tersadar dan seolah kembali berlari ke arah Mama.
"Kenapa mama, mbak?" tanya Hani, adik mas Hans yang paling tua padaku.
"Aku enggak tahu, Han... " kataku. Ia lalu melirik ke arah perutku dan menatapnya tak percaya.
"Astagfirullah... " katanya kemudian.
Kenapa sih orang-orang pada beristighfar mengetahui aku hamil?
Aku, Hani dan Rini membopong Ibu ke kamar.
"Rin... Pergi ke Apotik Rin, belikan obat Ibu yang sudah habis." perintah Hani pada Rini.
"Yee mba, aku ini lagi bolos kerja, ntar ketahuan lagi kalau aku bolos!" kata Rini ke Hani. "Mbak aja deh yang pergi. " kata Rini.
"Nih anak disuruh malah nyuruh! Trus yang jagain ibu siapa?"
"Kan ada aku sama mba Mia!" kata Rini.
Mia?
Kenapa Rini memanggilku dengan sebutan Mia?
Dari mana mereka tahu nama panggilan saat aku SMP, Mia?
"Kamu aja!! Buruan sana!"
"Ogah, mbak aja!"
"Kamu ini, ya! Jadi adik kurang ajar banget!"
"Aku ini bisa dikeluarkan dari kerjaan kalau ketahuan bolos!" sanggah Rini. Hani terlihat sangat geram, begitupun dengan Rini yang tak kalah kesal.
"Aku aja yang belikan, deket sini ada apotik, kan?" tanyaku.
"Belinya di apotik besar kak, adanya di Mall kalau yang paling dekat dari sini tuh, karena itu obat paten dan jarang ada di apotik kecil dekat sini." kata Rini.
"Dan Rini yang kerja di Mall lagi bolos!" kata Hani kesal.
"Sudah... Sudah..." kataku. Aku pinjem kunci motornya. Hani memandangku lalu memandang perutku.
"Kak Marissa berani naik motor dengan kondisi perut yang udah gede itu?" tanyanya cemas. Rini ikutan menoleh. "Lo aja deh, Rin! Kasihan tuh mbak Marissa!" imbuhnya cepat.
"Mbak aja deh! Kenapa sih suka amat nyuruh-nyuruh aku!" kata Rini sebal.
"Udah Han, kasihan tuh Mama! Mana kunci motornya? Mbak udah biasa keluar sendiri kok!" kataku kepada Hani. Hani akhirnya beranjak dari sisi kamar tidur dan berjalan keluar kamar. Tak lama kemudian ia kembali dengan wajah yang masih kesal karena Rini tak menuruti omongannya.
"Ini mbak, hati-hati ya... " katanya padaku lalu kembali duduk di sisi Mama yang masih pingsan.
Aku bergegas keluar kamar menuju teras. Koperku masih teronggok rapi di luar, aku menariknya masuk ke dalam dan meletakkannya di ruang tamu. Sempat terpikir olehku kalau aku ingin menghubungi mas Hans, tapi niatku itu kuurungkan sejenak. Mama butuh obat dan aku harus segera mencarinya.
Setelah cukup jauh dari rumah dan mencoba memasuki beberapa apotik di pinggir jalan seraya menyerahkan resep obat yang diberikan oleh Rini tadi padaku, aku mulai merasa lelah. Pasalnya apotik-apotik yang kukunjungi tak menyediakan obat yang ada di resep. Benar apa kata Rini tadi bahwa kemungkinan obat itu hanya ada di beberapa apotik besar.
Aku mulai lelah. Kuteguk air minum yang kubeli di sebuah warung. Setelahnya aku melanjutkan perjalanan menuju Mall yang dimaksud oleh Rini dan Hani.
Setelah melewati penempatan lampu merah baru kusadari memang ada apotik yang terletak tak jauh dari Mall. Tapi mataku menangkap sesuatu yang lain hingga kuputuskan tak jadi belok ke apotik melainkan mengikuti mobil yang plat nomernya sangat kuhapal itu. Bagaimana tidak? Mobil itu adalah hasil kumpulan gaji yang kutabung ketika mas Hans menghilang selama lima tahun dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...