Aku memukul setir mobil yang kukendarai karena pasalnya usahaku membuntuti mas Hans ternyata sia-sia selama seminggu terakhir ini. Ia bersih dari tuduhan dan gelagat seorang selingkuh sama sekali.
Hari pertama ketika aku membuntutinya seharian di luar rumah, aku dibuatnya kacau. Bagaimana tidak? Aku main kucing-kucingan dengannya. Ketika ternyata mobilnya di suatu siang hari berjalan menuju rumah, aku harus mendahuluinya sampai ke rumah terlebih dahulu sebelumnya karena yang ia tahu selama ini aku selalu berada di rumah dan tak pergi ke mana-mana sama sekali. Sampai di rumah aku harus bergegas mengganti bajuku dengan daster. Sialnya adalah ketika aku mengenakan daster dan terbalik yang menjadi tatapan aneh mas Hans padaku.
Hari kedua ketika aku membuntutinya lagi, di tengah jalan ban mobilku kempes. Ketika aku baru saja menggantinya di bengkel, mas Hans meneleponku dan menanyakan keberadaanku di mana? Tentu saja aku kaget bukan main dan dengan enteng mengatakan kalau aku sedang di rumah memasak. Tapi dengan santai pula ia menjawab bahwa bu RT baru saja meneleponnya dan menanyakan dimana aku berada karena pasalnya rumah kosong. Sial bukan main! Akhirnya aku jujur padanya kalau aku sedang memperbaiki mobil di bengkel dan syukurnya ia tak marah sama sekali tak sesuai dugaanku.
Hari ketiga tak kalah sial seperti hari pertama dan kedua, aku tak bisa membuntuti mas Hans karena mobilnya mas Hans rusak lalu ia berangkat kerja menggunakan mobilku. Ketika aku ingin berangkat membuntutinya dengan motor, baru kusadari bahwa rantai motorku tak ada, entah raib kemana.
Hari ke empat tak kalah menjengkelkan. Aku terjebak macet luar biasa karena kecelakaan yang tengah terjadi sehingga aku kehilangan mobil mas Hans yang gesit sekali menghilang di jalanan.
Hari ke lima dan ke enam sama saja, ketika aku ingin keluar rumah membuntuti mas Hans. Bu Arum tetangga yang baru pulang umroh itu menahanku karena kedatangannya bertandang ke rumahku berjam-jam lamanya.
Dan hari terakhir ketika aku membuntutinya sebelum besok ke luar kota untuk meninjau proyeknya yang lain, kepalaku pusing bukan main yang memaksaku akhirnya tinggal dan tidur di rumah.
Aku mendengus kesal memikirkan kesialanku seminggu terakhir. Pernah sempat terlintas di otakku bahwa Jingga yang melapor ke mas Hans atas kecurigaanku kepadanya yang berselingkuh hingga dengan lihai sekali ia menghindariku.
Aku sebenarnya ingin menghubungi istri dari rekan kerja mas Hans yang tempo hari mengabarkan bahwa ia pernah melihat mas Hans dengan seorang perempuan lain bertandang ke rumahnya dan sangat mesra. Tapi itu semua hanya angan saja. Sejujurnya aku selalu tak sanggup ketika menyadari mas Hans berselingkuh dariku karena aku bingung bagaimana nasib anakku kelak nantinya jika mas Hans benar-benar selingkuh. Mungkin rasa keraguan yang tak besar itulah yang menyebabkan aku selalu gagal memergoki perbuatan nakal mas Hans.
Setelah mengantarkan mas Hans ke bandara tadi pagi aku tak memutuskan pulang ke rumah, aku mampir ke salah satu restaurant steak. Ketika aku baru memasuki ruangan itu, aku menyadari bahwa di meja kedua yang lurus dengan tempatku berdiri sekarang ada kak Nadia, sahabat baik kakakku dulu.
"Kak Nadia? Apa kabar?" sapaku tiba-tiba. Ia terhenyak kaget melihat kehadiranku yang sudah berdiri di hadapannya. Tak hanya ekspresinya yang menatapku tak percaya, sendok di tangannya juga jatuh.
Aku buru-buru duduk di depannya yang masih melongo melihat kehadiranku yang tiba-tiba.
"Lupa? Sudah hampir empat tahun ya kita gak ketemu?" tanyaku dan ia hanya bergeming di tempatnya. Kulihat ada sisa makanan di hadapanku. Tanda ada orang lain yang sedang makan dengannya. "Kak Nadia sama siapa?" imbuhku bertanya. Ia diam dan masih tertegun. Pandangannya beralih dari mataku ke arah perutku yang sudah mulai kelihatan. "Mau jalan empat bulan dan kembar, kak!" seruku. Ia kaget mendengarnya. Setelahnya aku melihat ia tiba-tiba berdiri kaku dengan bibir yang bergetar dan tangan yang menopang tubuhnya ia sandarkan ke meja.
"Sa... Mbak ada urusan, mbak balik dulu ya... " katanya dan aku mengangguk kecil begitu saja. Kulihat ia berjalan menjauhi meja makannya. Bukannya ke arah pintu keluar tetapi ia malah memasuki pintu kamar mandi.
Tak ingin berpikiran macam-macam, aku berdiri dari meja makan tempat kak Nadia tadi duduk dan mencari meja makan yang kosong.
Kak Nadia adalah sahabat kecil kak Tia, kakak tiriku. Setelah aku menemui ayah dulu, kak Tia tiba-tiba mengirimiku pesan lewat email. Ia mencoba memperkenalkan dirinya yang usianya diatasku lima tahun. Semula pesan-pesan kecilnya selalu kuabaikan tetapi perhatiannya dan uang yang ia kirimkan ke ibuku lewatku membuatku lama kelamaan membuka hati untuknya setelah sebelumnya aku membencinya mengingat bagaimana cara ibunya menghancurkan hubungan ayah dan ibuku.
Kak Tia meminta maaf soal Ibunya dan juga Ayahku yang enggan kembali ke Ibuku. Ia mengatakan bahwa ini semua adalah kesalahannya. Ia mulai bercerita bagaimana dulu Ibunya dan Ayahku bertemu yang tak lain karena dirinya.
Kedekatan kami semakin erat. Meski aku hanya mengenalinya lewat media sosial dan tak mengetahui bagaimana wajahnya karena ia bercadar sejak SMP, aku tahu kalau ia cantik. Matanya yang lentik alami ketika suatu kali kita bertemu menguatkan dugaanku bahwa ia sangat sempurna.
Kami semakin dekat dari tahun ke tahun meski kami hanya mengobrol lewat pesan WA, Line dan SMS terkadang. Kami hanya bertemu satu kali, itupun ketika Ibuku sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Selebihnya, Kak Tia dan aku hanya bertukar pesan dan kabar. Jika ingin bercerita panjang lebar, kak Tia akan mengirimkan email, begitupun aku.
Aku mengenal Kak Nadia lewat kak Tia, saat itu ia minta tolong kepadaku untuk mencarikan kost-an perempuan di Malang yang dekat dengan Universitas Brawijaya. Aku memenuhi keinginannya.
Beberapa bulan setelah aku mencarikan kost kak Nadia, kak Tia sudah tak pernah menghubungiku lagi. Semua pesanku tak terbaca dan tak terbalas. Kejadian itu menjadi tahunan hingga aku menikah sekarang. Terkadang aku rindu padanya, ingin rasanya aku terbang ke Balikpapan dan mengunjunginya. Tapi, mengingat bagaimana Ayah menolak kedatanganku dulu, akhirnya niat itu hanya sebatas angan saja.
Kulihat Kak Nadia keluar dari dalam kamar mandi dengan perempuan berhijab yang cantik. Perempuan itu duduk di atas kursi roda. Ketika aku ingin berdiri dan menghampirinya, seorang pelayan menghampiriku dan menanyakan soal menu makanan apa yang ingin aku pesan.
Kak Nadia dan perempuan yang duduk di atas kursi roda itu telah hilang usai aku mengatakan menu makanan yang ingin aku pesan ke pelayan.
Aku kehilangan kak Nadia lagi, padahal tadi aku berniat menanyakan nomornya dan kabar kakakku jika ia tahu.
Gurami saus padang datang. Bau ikan segar dengan saus yang menggoda itu membuat perutku berbunyi lagi. Kedua anakku telah kelaparan sejak tadi. Cepat-cepat aku makan sebelum dingin. Usai menandaskan nasi di piringku, aku menciduk kembali nasi untuk kutuang ke piringku. Sendirian makan di restaurant bukan hal susah. Aku sudah melakukan segala sesuatunya sendiri sejak aku kuliah part time dulu. Jadi tak ada rasa canggung ketika aku makan seorang diri di restaurant.
Ponselku bergetar. Notifikasi pesan wa bergambar dikirimkan oleh istri rekan kerja mas Hans-selingkuhannya Jingga. Buru-buru aku membuka pesan itu dan ternganga kaget melihat apa yang ada di dalam gambar yang ia kirimkan.
Foto mas Hans sedang menggendong gadis berhijab di kedua tangannya. Foto itu sangat jelas sekali.
Aku bakalan open PO novel ini gengs, kalian bisa peluk buku ini dalam bentuk fisik loh. Saya spill covernya dulu yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Roman d'amour"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...