Bab 7: Sekretaris Itu.

2.1K 143 0
                                    

Kubaca berulang-ulang pesan teks dari perempuan yang tak kukenal. Semua pesan balasanku tak ada satupun yang dibalas olehnya. Hanya dibaca saja. Mas Hans masih diam ketika tadi aku bertanya soal Jingga yang berstatus sebagai sekretaris barunya. Mungkin ia bingung harus menutupi kebohongannya bagaimana lagi.

"Mas... " panggilku. Ia menoleh sejenak. Matanya menatapku ragu tapi ia berusaha fokus menyetir ke depan. "Kau tahu, kan? Aku tidak suka dibohongi?" tanyaku dan dia menatapku bimbang. "Demi calon anak kita, katakan padaku apa yang seharusnya aku ketahui..." imbuhku. Ia diam seribu bahasa.

"Gak terjadi sesuatu antara aku dan sekretaris lamaku." ujarnya langsung. Aku menatapnya, mencari kebenaran di kedua matanya.

"Lalu kenapa perempuan itu kau rumahkan?" tanyaku dan ia nampak terkejut. Mungkin ia tak menyangka bahwa aku mengetahui sekretaris itu dirumahkan dan langsung bertanya kepadanya tanpa basa basi.

Buru-buru mas Hans menepikan mobilnya dan menatapku langsung.

"Dengar Marissa, aku benar-benar tidak berniat membohongimu!" katanya. "Tolong jangan berpikiran macam-macam... " imbuhnya.

"Bagaimana bisa aku tidak berpikiran macam-macam? Kau berbohong padaku!" seruku kesal.

"Tapi sungguh aku tidak menyelingkuhimu dengan sekretarisku!" katanya berapi-api. Aku pun menatapnya marah.

"Kalau begitu, hubungi dia dan minta bertemu dengan kita!" kataku tegas. Ia menghela napas berat dan menatapku tak percaya.

"Oke!" serunya. Aku melihatnya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Dan aku berharap kali ini benar-benar sekretaris yang disembunyikan olehnya.

***

Di sebuah cafe aku menunggu dengan sangat cemas perempuan itu. Berulang kali aku mengecek ke arah Mas Hans yang nampak tenang dan sesekali menyeruput kopi yang ia pesan. Saking tenangnya aku jadi merasa bersalah karena menuduhnya berselingkuh dariku? Bagaimana jika ia tak selingkuh dariku? Bagaimana jika aku hanya cemburu buta saja?

Tangan mas Hans tiba-tiba terangkat dan wajahnya seolah menyapa seseorang. Aku mengikuti arah pandangannya. Di sana kulihat seorang perempuan sangat cantik tengah memasuki cafe ini. Tubuhnya yang tinggi dan ramping itu berjalan bak model ke arah kami. Semua pasang mata memandang ke arahnya. Aku jadi teringat dengan omongan dua orang perempuan di toilet tadi soal sekretaris mas Hans yang cantik. Dan perempuan ini adalah gambaran yang sangat sempurna.

"Siang, pak..." katanya sopan. Sejenak ia melirikku.

"Duduk, Ndin." perintah suamiku dan ia mengangguk.

"Istri saya ingin bertanya dan kamu jawab dengan jujur." kata suamiku dan perempuan itu menoleh ke arahku.

Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku dan kutunjukkan ke arahnya lalu menyodorkannya di hadapannya. Ia mengerutkan kening menatap benda mungil itu, lalu menatapku bingung dan menatap mas Hans bingung juga.

"Punya anda, kan? Lip glossnya?" tanyaku dan ia menggeleng pasti sesaat setelah memastikan lip gloss itu dengan memutar-mutarnya beberspa kali. "Yakin?" tanyaku dan ia mengangguk pasti. "Kalau begitu kenapa anda berhenti kerja?" tanyaku lagi.

"Bukan berhenti, bu. Tapi saya bedrest... " ujarnya.

"Bedrest?" tanyaku dan ia mengangguk seraya menyentuh perutnya. Aku kaget dan menatap mas Hans marah. "Kamu hamilin dia, mas?" tanyaku marah. Baik mas Hans dan perempuan itu sama-sama memandangku kaget.

"Bukan,Bu!" seru perempuan itu cepat-cepat. Aku memandangnya dengan dahi berkerut dan wajah yang masam.

"Kamu hamil, kan?" tanyaku dan ia kembali mengangguk dan memandang mas Hans.

"Dia hamil sama suaminya, bukan sama aku sayang... " ujar suamiku. Aku masih tak percaya. Kulihat wajah suamiku nampak frustasi.

"Jangan bohong, mas!"

"Demi Allah aku gak hamilin dia!" serunya. Ia menatap sekretaris di hadapannya. "Katakan padanya! " seru suamiku. Perempuan itu menoleh padaku.

"Mungkin suami ibu berselingkuh, tapi saya pastikan perempuan itu bukan saya!" katanya kesal seraya berdiri dan pergi begitu saja. Kalimatnya barusan membuatku bingung.

Tak ingin tertegun cukup lama, aku berlari mengejar perempuan itu yang sudah hampir masuk ke dalam mobilnya. Saat kuhentikan tangannya, kulihat di dalam mobil ada seorang pria yang sedang duduk di belakang kemudi. Aku tertegun melihat pria tersebut.

"Suami saya, bu... " kata perempuan itu. Aku gelapagan karena malu saat mengetahui bahwa wanita itu memang benar bersuami. "Kenalin mas. Istri mas Hans... " kata istrinya.

"Istri? Oh... Maksud saya ... Ehmm ... Saya Damar. " kata pria itu seraya mengulurkan tangannya untuk kujabat. Wajah dan ekspresi lelaki itu terlihat kaku saat menatap. Begitupun dengan senyumnya yang terlihat dipaksakan. Aku menerima uluran tangannya. "Bu Kisna, kan?" katanya. Aku mengerutkan kening mendengar sebuah nama asing yang ia sebutkan di depanku. Wajahku yang tertegun dan bertanya-tanya menatap matanya itu, membuatnya salah tingkah dan menatap istrinya yang berdiri di sampingku.

Aku mengalihkan pandanganku dari lelaki itu dan menatap perempuan yang berdiri di sampingku. Ia terlihat bingung dan frustasi hingga memegang jidatnya dan menghela napas berat.

Ada sesuatu yang ia ketahui dan yang tak kuketahui.

"Sayang!" seru seseorang. Aku hapal suara itu. Suara suamiku. Napas suamiku yang ngos-ngosan itu terasa di tengkukku. "Kalian bicara apa?" tanya suamiku seraya menatap sekretaris, suami sekretarisnya dan aku secara bergantian.

"Gak ada. Aku tanya sama mantan sekretarismu, arti kalimat terakhirnya sebelum ia pergi dan ia mengatakan bahwa jika kamu benar-benar berselingkuh dariku ia pastikan perempuan itu bukan dirinya karena ia sangat mencintai suaminya. Bukan begitu, mbak... ?"

"Andine, nama saya Andine bu... "

"Oh ya, mbak Andien... " aku tersenyum garing ke arah perempuan itu. Kulihat wajah suaminya juga sangat pias dan aku sangat yakin sekali kalau ia benar-benar menyembunyikan sesuatu. "Kalian mau pulang, kan? Silahkan... " kataku pada mereka berdua dan mereka berdua menatapku secara aneh. Mungkin saja karena sikapku yang mendadak ramah dan bungkam saat mas Hans datang.

Kulihat Andien menaiki mobilnya sambil menatapku ragu-ragu. Aku hanya mengangguk sekali dan berusaha tersenyum setenang mungkin ke arah mereka sampai mobil mereka berjalan meninggalkan tempat parkiran.

"Kenapa, Ma?" tanya mas Hans cemas padaku. Aku menatapnya sangat dalam, mencari kebenaran dan rahasia yang ia simpan dariku. Aku benar-benar tak mengerti rahasia apa yang ia sembunyikan dariku. Aku sangat ingin bertanya siap Kisna yang disebut oleh suami Andien.

Aku ingin bertanya tapi tak bisa hingga kuputuskan mulai sekarang aku akan menyelidikinya seorang diri.

"Kita pulang yuk, Pa. Setelah melihat suami bu Andien, Mama gak akan curiga lagi ke Papa." ujarku berbohong sembari tersenyum penuh arti ke arah mas Hans.

Perjalanan pulang sangat melelahkan. Hingga kuputuskan untuk langsung masuk ke kamar dan tak membahas soal perselingkuhan suamiku lagi.

Ting!

Sebuah pesan masuk. Dari Jingga.

'Mbak, tolong jangan bilang ke Ayah soal tadi, mbak... ' rengek Jiingga.

'Boleh. Tapi mbak punya syarat.'

'Apa? '

'Pertama-tama kita ketemu dulu ke cafe besok. Cafe yang sama dengan yang kemarin kita nyantai.

'Oke, mbak... '

Hal pertama yang harus kulakukan adalah meminta Jingga memata-matai mas Hans. Jika ia menolak, aku akan mengadukan perbuatannya merusak rumah tangga orang lain ke ayahnya.

MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang