Mas Hans memulai aksinya. Ia over protectif. Ketika aku keluar dari rumah sakit sampai kita sudah berada di dalam mobil, ia tak berbicara sama sekali. Hal yang sama juga kulakukan padanya. Yang paling menjengkelkan adalah ketika ia meminta ponselku dan meminta kata sandi ponselku.
Tentu saja aku menolak mentah-mentah permintaannya yang menurutku tak masuk akal itu. Bagaimana bisa ia memintaku memberinya kode sandi ponselku sedangkan ia sendiri merahasikan kode sandinya dariku dan besar kemungkinan ia memiliki lebih dari dua ponsel.
Cek cok pun terjadi antara kami. Ketika mas Hans marah soal aku tak menurut ke arahnya, aku kembali marah karena ia tak menceritkan yang sebenarnya kepadaku soal Jingga yang ternyata baru menjadi sekretarisnya dan lip gloss itu adalah karangan belaka.
Ia bungkam setelah itu. Seolah semua yang kukatakan benar adanya.
"Aku perlu riset." kataku memecah keheningan diantara kami. "Aku tidak bisa tinggal di rumah terus sampai aku melahirkan." kataku lagi.
"Kamu boleh pergi ketika aku bersamu. Selebihnya tidak dan tak ada perdebatan lagi." katanya tanpa menoleh ke arahku sama sekali, ia memandang lurus ke depan, ke jalanan yang padat.
Aku tak pernah memahami bahwa Mas Hans bisa menjadi pribadi yang sangat dingin karena sebelumnya ia begitu hangat. Ketika ia marah pun ia tak pernah mengabaikanku dan lebih memilih mengalah dari pada mendebatku. Tapi sekarang?
"Aku jenuh dan stress di rumah! Menunggumu mengajakku melakukan riset bersama? Bisa-bisa sebulan hanya sekali!"
"Aku akan sering pulang... "
"Ya Tuhan, Mas Hans! Kamu pikir aku asal riset dan langsung bisa menuliskan dalam novel tanpa memikirkannya lebih dulu?"
"Pokoknya tidak, Sa! Tak ada perdebatan! Bahkan ketika kamu tak menulispun ekonomi kita sudah tercukupi!" katanya. "Aku bisa memberimu uang bulanan lebih. Bula depan aku naik jabatan."
"Menulis itu menjagaku tetap waras, mas!" kataku tak ingin kalah. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar lalu dengan segera menepikan mobilnya dan menoleh ke arahku.
"Jujurlah padaku, Marissa! Kamu tidak melakukan riset tapi memata-mataiku!" katanya tajam dan dalam. Matanya tak berkedip saat memandangku baik-baik. Aku sedikit takut karena nyatanya aku kepergok olehnya. Aku membuang wajahku dari tatapannya, tapi ia malah meraih daguku untuk dihadapkan kepadanya.
"Katakan! Benarkan dugaanku?!" serunya.
"Benar!"
"Kenapa? Kenapa kau mencurigaiku?" tanyanya tak terima.
"Kamu bertanya kenapa aku mencurigaimu?"
"Aku benar-benar tak berselingkuh darimu, Marissa!"
"Jangan bohong, mas!" kataku tak kalah keras.
Akhirnya pertahananku runtuh juga. Air mataku deras menurun. Perasaan sakit mengetahui bahwa ada orang ketiga diantara aku dan Mas Hans membuatku terpuruk dan terluka. Bayangan Mama yang sering menangisi keadaanya melambai di benakku. Untuk itulah aku sangat takut berumah tangga. Aku takut dikhianati. Aku takut disakiti.
Mata mas Hans yang tajam tiba-tiba menjadi lembut. Ia ingin merengkuhku ke dalam pelukannya, tapi aku menolaknya. Air mataku masih mengalir. Kenapa aku harus mengetahuinya berselingkuh dariku sedangkan sekarang ini posisiku sedang hamil? Hamil anaknya? Kenapa saat aku sedang hamil seperti ini aku mengetahui keburukannya? Kenapa tidak saat aku hamil? Kenapa?
Aku masih menangisi nasibku yang malang. Masa depanku hanya ada dua. Bercerai dengannya dari pada terluka terus menerus atau perempuan perebut suami orang itu lenyap. Pergi dari hidup mas Hans dan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romantizm"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...