"Sedang mikirin apa sih, Mas?" tanyaku padanya yang duduk di teras rumah sembari memandang langit malam yang kelam. Asap rokok itu mengebul dari mulutnya dan bergemul dengan udara malam.
Mas Hans hanya mengenakan kaos lengan pendek tipis dan celana boxer. Sebenarnya aku masih enggan mengajaknya bicara mengingat semua ketidakjelasan ini masih ambigu. Tetapi aku butuh persetujuannya untuk mengabari Mama bahwa aku tengah berbadan dua. Hal yang dulu sempat disinggungnya saat aku bertanya kenapa ia tak suka padaku, padahal kalau diingat-ingat, usia pernikahanku dan mas Hans baru 3 bulan dan ia menjawab dengan kalimat yang sungguh menyayat hati 'Aku rasa kamu tidak bisa memberikanku cucu...'
Pertama kali datang setelah aku dan mas Hans terpaksa menikah sirih tanpa ijinnya itulah yang dikatakannya. Sampai sekarang aku tak mengerti sebenarnya letak kesalahanku di mana?
Untuk mencuri hati Mama, aku pernah memutuskan untuk tinggal di rumah mama selama lima bulan. Dan apa yang aku dapatkan? Aku bukannya dianggap menantu melainkan pembantu. Seluruh pekerjaan rumah aku yang kerjakan. Waktu istrihatku hanya ketika mas Hans pulang saja, selebihnya aku tidak diperkenankan masuk kamar walau hanya berebah.
Bahkan identitasku yang sah secara agama sebagai istri dari mas Hans pun, Mama menyembunyikannya dari tetangga. Mama menyebutku saudara jauhnya. Tapi memang ada yang aneh selama aku tinggal di rumah Mama. Selain Mama membuatku sibuk dengan pekerjaan rumah, ia bahkan hampir sering kali pulang ke rumah, hanya untuk mengawasiku agar gak bertetangga. Aku jadi bertanya-tanya kenapa Mama sampai segitu takutnya jika tetangga tahu kalau aku adalah istri mas Hans?
Pernah suatu kali aku memutuskan bertanya kepada mas Hans soal sikap Mama itu, mas Hans mengatakannya dengan sangat sederhana dan jelas. "Kita kan belum menikah secara sah di mata negara, Sa..." kata Mas Hans pasrah.
Aku menggurutu kesal saat itu.
"Aku berencana mengunjungi Mama sebelum kelahiran, Mas... " kataku pada mas Hans yang sedang kalut dalam rokoknya. "Mas... " panggilku lagi. "Anak kita butuh dokumen yang jelas!" seruku kesal.
Mas Hans akhirnya menoleh ke arahku. Kudapati matanya merah dan aku terhenyak kaget. Seumur-umur aku belum pernah melihat matanya merah dengan wajah yang sendu itu. Ketika ia ingin membuka mulutnya, Ibu memanggil namanya dari dalam rumah. Aku dan mas Hans menoleh ke dalam rumah sejenak, ketika aku kembali menatapnya, mata yang merah itu sudah tak ada lagi.
Apa aku salah lihat?
Aku mengikuti langkah kaki mas Hans yang masuk ke dalam rumah. Rupanya Ibu sedang berusaha membenarkan lampu yang padam dengan mengganti bohlam lampu dengan yang baru. Kursi yang ibu naiki dan tangannya sudah tak bisa lagi menggapai atap rumah.
Mas Hans meminta Ibu untuk turun dan ia mulai naik kursi itu, menggantu bohlam lampu lama dengan yang baru. Lampu dapur akhirnya menyala.
"Kamu kenapa Hans kok kelihatannya lesu begitu?" tanya Ibh heran.
"Gak papa, Bu, hanya kelelahan... " kata mas Hans.
"Oh iya, istirahat gih... " kata Ibu. Mas Hans mengangguk kecil lalu pamit masuk ke dalam kamar.
***
Keesokan harinya ketika aku bangun, aku sudah tak melihat mas Hans berada di sampingku. Penasaran akan keberadaannya, aku keluar kamar dan hanya mendapati Ibu di dapur.
"Mas Hans, ke mana bu?" tanyaku.
"Assalamualaikum." kata seseorang salam, aku menoleh dan mendapati mas Hans tengah masuk ke dalam rumah dengan menjinjing dua kantong plastik yang penuh dengan belanjaan.
"Ya ampun, Hans! Gak usah belanja!" kata Ibu protes. Aku ternganga melihat kelakuan mas Hans.
"Gak papa, bu, sudah kewajiban saya." kata Mas Hans dengan ketenangan yang ia bawa. Kemudian ia berlalu masuk ke kamar untuk mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...