Rumah di depanku ini tetap sama seperti rumah yang kukunjungi pertama kali dengan mas Hans sekitar empat tahun yang lalu. Rumah mungil yang dikelilingi taman bunga warna warni yang membuat rumah ini nampak sangat asri.
Pertama kali ke sini aku dibuat jatuh cinta dengan rumah ini. Senyumku mengembang, dan berulang kali aku sangat yakin orang-orang yang tinggal di dalamnya pastilah orang-orang yang menyenangkan, bagaimana tidak? Lihat saja bunga-bunga yang indah bermekaran di sekitar rumah itu dan tanaman-tanaman gantung yang menghiasi atap rumah.
Tapi dugaanku salah besar, kupikir orang-orang di rumah itu akan menyambutku dengan suka cita dan bahagia, nyatanya aku hanya duduk di teras rumah selama lima belas menit tanpa suguhan sama sekali, sekalipun itu hanya air putih.
Masih ingat jelas di benakku bagaimana dengan sangat keras kepalanya, Mama mas Hans benar-banar menolakku menjadi menantunya dan itu dikatakannya secara langsung di depan mataku. Ketika kutanya alasannya dengan berani, jawabannya membuatku kaget. "Aku saja ragu Hans bisa membahagiakanmu, bagaimana mungkin kau bisa yakin?" katanya kala itu.
Hanya kalimat itu, ya, hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir Mama mas Hans yang akhirnya membuatku menarik kesimpulan bahwa ia benar-benar tak ingin aku menikah dengan mas Hans.
Kali kedua aku menginjakkan kaki di rumah ini yakni keesokan paginya setelah hari itu. Setelah malam panasku dengan mas Hans tanpa kesengajaan di hotel. Aku dan mas Hans saling pandang sebelum mas Hans berjalan dan membuka pagar rumahnya. Ia sudah memasuki wilayah rumahnya yang asri sedangkan aku masih terpaku di tempat mana aku berdiri.
Mas Hans menoleh, "Marissa... " panggilnya kepadaku. Tepat ketika ia memanggilku itu, kulihat Mama mas Hans keluar rumah, hatiku terkejut melihatnya, antara takut dan cemas berkumpul jadi satu. Aku menelan ludah saat kutatap mata tajam mama Mas Hans yang menatapku ngeri.
Mas Hans menoleh ke arah mana mataku melihat dan ia memanggil nama mamanya dengan sangat pelan. Perempuan paruh baya itu masuk ke dalam rumahnya lagi, buru-buru mas Hans menyusulnya masuk seraya menarik tanganku dan memintaku menunggu di kursi teras depan rumahnya.
Cukup lama perbincangan antara mereka. Aku hanya berharap mas Hans tak mengatakan insiden tanpa sengaja yang terjadi semalam kepada Mamanya yang akhirnya membuatnya merestui hubungan kami.
Aku melirik jam yang tersemat rapi dan cantik di pergelangan tanganku. Pukul sepuluh pagi yang artinya hampir dua jam mas Hans meninggalkanku sendiri di teras rumahnya. Berulang kali mas aku melihat beberapa tetangga yang mondar mandir di depan rumah dengan mencuri-curi pandang ke arahku. Memang sih, adegan mas Hans menggandeng tanganku untuk masuk tadi ada beberapa orang yang tak sengaja melihatnya.
Suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa dari dalam rumah itu terdengar berat dan terburu-buru. Mendadak aku berdiri saat melihat Mama mas Hans yang menatapku penuh amarah.
Aku menatap mas Hans dan Mamanya bergantian. Napas Mamanya naik turun dan ia terlihat sangat murka. Apa mas Hans mengatakan soal semalam kepada beliau?
"Jika kelak kau mengeluhkan soal sikap Hans padaku, aku tak mau peduli!" katanya. Aku terhenyak kaget. "Aku sudah tak peduli sama kalian! Terserah kalian mau apa!" katanya lagi lalu masuk ke dalam rumah dengan segudang kecewaan. Entah mengapa ia kecewa aku tak tahu dan kepada siapa ia kecewa aku juga tak mengerti. Apa juga maksud dari ucapannya tadi?
Mas Hans menghampiriku.
"Ayo..." kata mas Hans.
"Ke mana, mas?" tanyaku bingung. Ia terus menarikku untuk keluar dari rumahnya. Kami tak mengantongi restu Mama. Bagaimana kami menikah?
"Marissa... " panggilnya seraya tertunduk lemah. "Kalau kita nikah secara agama dulu bagaimana?" tanyanya meragu.
Aku tahu ibu mas Hans adalah lurah dan paman adalah penghulu di daerah mas Hans. Kami tak mengantongi restu jadi aku paham maksud mas Hans apa. Aku kemudian mengangguk ke arahnya. Lebih baik menikah secara agama terlebih dahulu dari pada berbuat dosa seperti kemarin malam.
Dan hari ini, setelah hampir empat tahun aku dan mas Hans menikah di bawah tangan, kuberanikan diri kembali ke mari. Anakku butuh legalitas. Aku tak mau anakku tumbuh tanpa pengakuan.
Beberapa tetangga menatapku dengan dahi berkerut setelah mereka melihatku yang berbadan dua. Perlahan aku memasuki rumah setelah membuka pagar rumah. Kakiku terasa berat melangkah, aku teringat dengan ucapan Ibu tadi pagi di rumah.
"Apa? Mau ke Bandung hari ini?" tanyanya tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ibu menoleh ke arahku yang sedang menyantap sarapan pagi buatannya, lalu ia berangsur duduk di hadapanku dengan wajah heran yang telah keriput itu. "Kenapa mendadak sekali?" tanya Ibu.
"Perutku sudah semakin besar, Bu, aku takut si kembar lahir lebih awal dari HPL." kataku pada Ibu.
"Tapi nak Hans masih di luar kota, Nak... " katanya pelan padaku. Ia berusaha membujukku.
"Aku tak tahu kapan mas Hans kembali, bu, jadi aku putuskan untuk pergi sendiri. Aku tak ingin membebani mas Hans. Tahun ini proyek kerjasamanya sudah menumpuk." kataku pada Ibu.
"Ibu temani kamu, ya, nak?" tawar Ibu cemas. Aku menggeleng kuat-kuat.
"Marissa bisa sendiri kok, Bu, tenang saja. " kataku mantap seraya tersenyum kepadanya, tapi ia tak membalasnya, ia hanya memandangku lesu sekali.
Aku beranjak dari tempatku duduk dan menghampiri ibu yang duduk di hadapanku. Kupeluk ia dari samping setelah mengecup pipinya. Kubelai lembut punggungnya, agar beban hidup yang sudah besar di dirinya terangkat sebagian. Ah, Ibu, aku selalu tak bisa membahagiakanmu, tapi sekalipun kau tak pernah tak berusaha membahagiakanku.
"Ibu kuatir, Nak... " kata Ibu padaku lirih sekali. "Kau sedang mengandung. " katanya lagi.
"Karena itu, Bu, karena aku mengandung cucu dari Mama Mas Hans, siapa tahu hatinya yang keras akan melunak segera... " kataku pada Ibu, ia tersenyum kecil mendengarnya.
"Hati-hati, ya... " kata Ibu akhirnya.
"Selalu." kataku seraya mengecup keningnya dalam-dalam.
Dan di sinilah aku berada, di depan rumah di mana mas Hans tumbuh besar. Aku tak pernah bisa nyaman tinggal di sini. Beberapa bulan kucoba setelah menikah di bawah tanganpun dulu membuatku menyerah untuk tinggal di sini. Perlakuan Mama yang terang-terangan mengacuhkanku membuatku memilih pergi dan berharap suatu hari nanti ia akan berubah.
Aku meraba dengan pelan dan lembut perutku yang membuncit, usia kandunganku telah beranjak lima bulan, dan kehamilan kembar ini benar-benar menguras tenagaku.
"Tok.... Tok... Tok... " aku mengetuk pintu setelah mengucapkan basmallah. Tak perlu waktu lama, pintu itu terbuka dan wajah mertuaku lah yang pertama kali kulihat. Aku berusaha tersenyum ke arahnya yang terkejut dengan kehadiranku. Berulang kali bahkan matanya menatap wajahku dan perutku bergantian.
"Mama... " panggilku lirih.
"Astaghfirulloh.... " katanya seraya mengurut dadanya pelan. Kemudian hal yang tak kuduga terjadi, Mama pingsan tepat di depanku.
#Saya open PO buku ini, ya! Yuk dioreder, bisa lewat saya atau langsung ke penerbitnya. Bisa kontak saya di 081357379532. Penerbit LovRinz. Tapi kalau sama saya, akan saya diskon kembali dari harga PO yang 98000 akan saya jadikan 90000 saja (diluar ongkir)
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...