Dengan cepat mas Hans mengambil ponsel di tangan Bu Retno, ia mencoba membukanya tapi gagal karena memerlukan kode sandi untuk ponsel tersebut.
"Ibu-ibu semua yang punya suami, hati-hati sama suami jeng Marissa! Nanti kalian bernasib sama dengan saya." kata Bu Retno dengan sangat lantang.
Aku merasa sangat malu, sangat malu hingga tak berani mendongakkan kepalaku.
"Kasihan kau, Jeng, hamil besar suami malah bertingkah!" kata Bu Retno ketus seraya menarik kembali dengan sangat cepat ponsel suaminya dari tangan mas Hans. Ia kemudian berlalu dariku dan Mas Hans. Aku masih menunduk dengan sangat malu dan berulang-ulang kali aku mengusap-usap perutku yang melindungi janinku.
Semuanya sudah jelas sekarang. Semuanya sudah pasti. Mas Hans punya perempuan lain selain aku.
Aku masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki yang sangat pelan. Seolah berpijak di bumi sangatlah berat. Aku kehilangan semua pembendaharaan kata. Mulutku seketika terasa sangat kelu sekali.
Luka ini sangat terasa sakit. Pengkhianatan dari orang yang paling kita cintai tak pernah aku tahu kalau sakitnya bisa membuat jiwa serasa melayang meninggalkan raga.
"Marissa... " panggil mas Hans lembut seraya mencoba meraih lenganku. Aku menepis lengannya dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki. Rasa sakit ini benar-benar menguras semua tenaga yang kumiliki.
"Aku lelah, ingin istirahat." kataku.
"Biar kupapah kau ke kamar."
"Bibi! Bi!" panggilku sedikit lantang. Suaraku terdengar seperti teriakan kesedihan dari pada sebuah panggilan biasa.
Perempuan paruh baya yang sudah bekerja di rumahku ini sejak aku dan mas Hans menikah itu tergopoh-gopoh menghampiriku. Ia menatapku dengan tatapan bingung dan prihatin sekaligus.
"Antar aku ke kamar, Bi.... " kataku padanya.
"Baik, Nya... " katanya. Ia kemudian membantuku berjalan menuju kamar dan mulai mendudukkanku di kasur. Aku meraba dengan lembut perutku, seolah aku juga berusaha menenangkan janin yang ada di dalam rahimku.
Aku mendongak dan tak sengaja menatap wajah mas Hans yang tak bisa kudefinisikan. Antara sedih, bingung dan entahlah...
"Tolong tutup pintunya, Bi... " kataku. Bibi itu menatapku sejenak dengan ragu, lalu menatap suamiku yang berdiri di ambang pintu sejenak. Suamiku mengangguk dan aku memalingkan wajah darinya. Bibi beranjak dari hadapanku dan menutup pintu kamarku.
Aku berusaha naik ke atas kasur dan membuat diriku senyaman mungkin. Bibi membantuku mengangkat kakiku yang telah bengkak. Kupandangi dua kakiku yang sudah membesar. Tiba-tiba saja air mataku meleleh. Bibi yang mengerti keadaanku hanya bisa meraba punggungku dengan halus berulang kali. Seolah-olah menghilangkan beban dari dalam diriku.
"Nangis aja nyonya... Nangis...." kata Bibi. Bukannya air mataku malah berhenti, ia semakin deras mengalir seperti aliran sungai yang tak bermuara.
"Aku harus bagaimana, Bi?" tanyaku.
"Sabar, Nya... Ikhlas. Pasrahkan semuanya sama Ilahi. Nyonya fokus aja ke jabang bayi... " katanya lembut.
"Aku stress, Bi... " kataku parau.
Bibi tak menjawab, tapi beliau dengan lembut masih membelai punggungku dengan sabar hingga aku tertidur.
Aku terbangun pukul sebelas malam. Rasa lapar mendera perutku. Kupandangi kamarku dan tak menemukan mas Hans juga Bibi. Di nakas sebelah kamar tidurku sudah tersedia dua piring. Satu nasi dan satu lauk pauk. Tanpa pikir panjang lagi aku makan nasi yang tersedia di sana. Saat teringat kembali bagaimana Bu Retno dengan lantang mempermalukan keluargaku, aku menangis sedih. Malu rasanya. Apa yang kini dipikirkan oleh para tetanggaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Roman d'amour"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...