Rangkaian teka teki kelakuan mas Hans semakin lama semakin jelas saja. Semuanya terungkap satu per satu. Tak cukup dengan kenyataan bahwa ia berselingkuh dariku, tetapi mengajari pak Satrio berselingkuh dari Bu Retno hingga madunya hamil pun adalah suatu hal yang tidak pantas. Belum lagi mas Hans mencoba merayu Bu Ponoh?
Aku sungguh malu.
Sangat - sangat malu.
Aku masih ingat dengan sangat jelas bagaimana pertemuan pertama kami di halte bus yang berlanjut
ke dalam bus. Aku yang tak dapat tempat duduk dan harus berdesakan dengan penumpang yang lainnya. Hal yang sama juga yang terjadi pada mas Hans. Ketika salah seorang penumpang berdiri dari tempat duduknya, aku berusaha menggapai kursi itu, tapi naas aku malah menjatuhkan berkas-berkasku dan kursi yang kuincar telah ditempati penumpang lainnya.Mas Hans membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di lantai dan segera membantuku membawanya.
"Terima kasih, tapi anda bisa memberikannya kepada saya."
"Nanti akan saya berikan ketika anda turun." katanya.
"Itu merepotkan anda."
"Suatu kehormatan jika aku bisa membantu anda. Sama sekali aku tak merasa kerepotan." katanya lagi. Aku menyerah. Ia membantuku membawa barang-barangku dan kebaikan itu sepertinya tak perlu kutolak, toh berkas yang ada di tangannya bukan berkas yang begitu penting jika ia mencurinya.
Ketika bus berhenti di tempat dimana aku tinggal, aku meminta berkasku dari mas Hans, tapi ia bilang akan mengantarkan berkasku ini sampai aku di rumah. Curiga akan sikap baiknya itu, aku memandangnya aneh, buru-buru ia keluarkan kartu namanya dan di sana tertera ia salah satu pekerja kontraktor di sebuah perusahaan pengembangan. Ia juga mengeluarkan KTPnya.
"Hanya sampai pintu depan rumah." kataku padanya dan ia mengangguk. Kami pun berjalan ke rumahku dengan hujan rintik-rintik yang menemani kami. Berulang kali aku menoleh ke arahnya yang berada satu meter di belakangku. Ia tersenyum dan aku tak pernah menyangka demi melindungi berkas-berkasku ia membungkusnya dengan jacketnya.
Mas Hans menepati janjinya. Ia mengantarku hanya sampai depan kost-kostan atau rumah kontrakan yang aku dan teman-teman kantorku sewa untuk kami tinggali. Mas Hans menyerahkan berkasku dan ia pamit undur diri. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan nada suara yang terlampau pelan.
"Masuklah, hujan akan segera turun dengan sangat deras!" katanya padaku. Aku mengernyitkan dahi tapi ia malah tersenyum jahil. Ia kemudian mundur dan berteduh di bawah pohon tepat di depan kostku.
Ia mengarahkan tangannya menyuruhku untuk segera masuk. Semula aku enggan dan heran tapi perkataannya soal hujan ternyata benar adanya. Hujan lebat mengguyur kami. Dan aku sama sekali tak berniat mengajaknya masuk ke kontrakanku.
Sampai di kamar pun aku masih bisa melihat dengan jelas bagaimana ia berusaha bertahan di bawah pohon. Semula aku pikir aku akan mengacuhkannya dan melakukan aktivitasku di kontrakan dengan menulis cerita seperti biasanya. Tapi hari itu aku senang memandang wajah tampannya berlama-lama meski hanya di balik jendela.
Dua jam lamanya hujan masih deras mengguyur bumi, aku mulai resah dan khawatir kepadanya. Kuputuskan untuk mengajaknya masuk ke dalam kontrakanku. Aku menuruni anak tangga dan ketika aku sudah sampai di depan gerbang, Mas Hans sudah tidak ada. Aku menoleh ke kiri tapi tak menemukannya, saat aku menoleh ke kanan, aku melihatnya berlari menembus hujan. Ia berbalik dan melambai ke arahku dengan senyumnya yang tampan.
"Sampai ketemu besok!" teriaknya. Lelaki aneh, pikirku waktu itu.
Nyatanya ia menepati janjinya. Ia menungguku keesokan harinya di depan halte bus. Kami naik bus yang sama tapi kali ini tanpa hujan hingga kami bisa duduk berdampingan. Mas Hans mulai bercerita banyak hal. Mulai ia sekolah di mana, anak ke berapa di keluarganya dan siapa saja temannya. Semua itu tanpa kutanya dan tanpa kutanggapi. Tapi, ia tak pernah jenuh bercerita soal hal itu.
Beberapa hari ia melakukan hal yang sama. Semula aku jengah dan bosan, tapi pernah sehari ia absen tak naik bus dan aku mencarinya. Besoknya ia muncul dan entah mengapa kelegaan menyeliputi hatiku.
Ah, apa ini yang dinamakan cinta. Datang tanpa diduga sama sekali.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, aku mulai terbiasa dengannya. Aku yang diam saat pertama-tama ia bercerita kini mulai menanggapi ocehannya. Kadang beberapa orang sampai iri melihat kedekatan kami. Bagaimana tidak? Entah kita duduk atau berdiri, mas Hans tak pernah membuat mulutku tertutup, selalu ada kalimat dan tawaan.
Hingga suatu hari di bulan ke 9 kita bersama ia absen. Kupikir hari itu ia memang ada kepentingan kerja nyatanya keesokan harinya dan keesokan-keesokannya yang lain ia tak pernah lagi muncul.
Aku menunggu. Bahkan pernah hingga berjam-jam lamanya di halte bus, hanya agar ruang rindu di hatiku terisi. Tapi, ia tak juga muncul di depanku. Hal itu kulakukan hingga berbulan-bulan bahkan ketika tahun telah berganti.
Aku merindukan sosoknya yang ceria. Aku mencarinya ke tempat-tempat yang pernah ia sebutkan dalam ceritanya. Tapi aku baru sadar, ia tak pernah secara detail menceritakan dirinya. Semisal ia bicara soal cuaca dingi di kota Bandung saat ia berangkat sekolah, ia tak menyebutkan nama sekolahnya. Hingga aku mencari satu per satu sekolah yang ada di Bandung. Suatu hal gila yang kulakukan memang, tapi mau bagaimana lagi, ruang hatiku yang kosong minta diisi.
Akhirnya aku pun menyerah di tahun ke lima. Aku mulai berpikir ia telah menikah dan punya anak jadi tak mungkin datang padaku. Hari itu seharusnya aku ada janji temu dengan seseorang yang tiba-tiba saja menchatku di messenger di fb yang akunnya hanya kak Tia seorang saja yang tahu.
Semula aku ragu akan menemui pria itu, tapi mengingat aku juga harus membuka hatiku untuk seseorang yang lainnya, kuberanikan diri menemui orang asing itu.
Pukul tujuh malam aku tiba di cafe tempatku dan dirinya membuat janji. Aku memasuki cafe dan mengedarkan seluruh pandangku ke penjuru caffe untuk menemuka sosok laki-laki berkemeja biru yang katanya duduk di bangku ke dua dekat dengan jendela yang menampakkan pemandangan jalanan dan halte bus di seberang.
Aku menemukan lelaki itu yang sedang menatap keluar dengan salah satu tangannya yang menopang wajahnya hingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas.
"Sudah lama menunggu?" sapaku tiba-tiba seraya mengenakan kaca mata minusku yang kutanggalkan di saku baju. Tepat ketika aku sudah mengenakan kacamataku dan lelaki itu menoleh, aku terpaku, sangat terpaku begitupun dengannya yang menatapku terkejut.
"Mas Hans?" panggilku tak percaya.
#Saya open PO buku ini, ya! Yuk dioreder, bisa lewat saya atau langsung ke penerbitnya. Bisa kontak saya di 081357379532
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romansa"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...