Pulang dari belanja kulihat mas Hans sedang berada di dapur untuk membuat kopi dan masak nasi goreng. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku dengan wajahnya yang ia buat dengan senyum paling menawan. Biasanya setiap pagi ia akan bercerita banyak hal ketika tak ada tugas ke luar kota, tapi kini kami hanya saling pandang.
"Mas ... Aku pengen pulang ke Ibu di Malang." kataku padanya. Kejadian pengungkapan bu Ponoh tadi di tukang sayur bahwa mas Hans mencoba menggodanya, membuatku benar-benar kehilangan mood kepadanya. Teringat bagaimana dulu kami bertemu, mas Hans yang gigih mendekatiku hingga pergi tanpa kabar dan kembali dalam keadaan mencari istri dan kebetulan sekali, yang ia temukan adalah aku. Mia, alias Marissa.
"Kenapa mendadak, dek?" tanyanya. Dia memanggilku "dek" sebutan jika ia bingung harus bersikap seperti apa.
"Ini kehamilan pertamaku. Aku ingin dekat dengan Ibu, lebih tenang dan lebih baik kurasa... "
"Tapi..."
"Bu Ponoh tadi bilang kalau mas mencoba menggodanya." kataku cepat-cepat memotong kalimatnya. Ia tercekat cukup lama hingga menghela napas berat.
"Baiklah, kapan kamu mau berangkat?" tanyanya datar. Kini gantian aku yang terkejut mendengarnya.
Kenapa mas Hans tak menyangkal saat aku mengatakan soal Bu Ponoh?
Apa ia mengakui kalau ia menggodanya?
Benarkah?
Benarkah seperti itu?
Aku berusaha menetralisir semua perasaan yang berkecamuk di dalam dadaku. Dugaan-dugaan disertai dengan ekspresi Mas Hans yang menyangkal, pasrah dan tak mau peduli itu benar-benar membuatku geram. Ia bertingkah seolah ia tak melakukan hal biruk sekalipun.
"Hari ini," jawabku mantap.
"Aku akan carikan penerbangan tercepat hari ini. Tapi apa kamu sudah konsultasi ke dokter?" tanya lagi. Nada suaranya terdengar datar sekali. Ekspresi wajahnya pun tak bisa aku definisikan.
"Kemarin aku iseng tanya tentang perjalanan jauh, katanya boleh dilakukan asal diatas usia 3 bulan." kataku.
"Baiklah." jawab mas Hans.
Aku tak mengerti lagi tingkahnya ini. Semua hal yang kukatakan seolah tak dipedulikannya.
"Mas... " panggilku. Ia menoleh sembari mengecek penerbangan lewat ponselnya. "Mas... Apa kamu tidak mau mengatakan sesuatu padaku soal Bu Retno atau bu Ponoh?" tanyaku.
Ia diam, memandangku dengan tatapan datar. Lalu menghembuskan napas besar.
"Apa kau masih percaya padaku?" tanyanya balik.
Ya, pertanyaannya ada benarnya juga. Apa jika ia menceritakan semuanya, apa aku akan percaya padanya?
Aku diam karena tak memiliki kata yang pas untuk pertanyannya. Tetapi di sisi lain aku sangat bingung. Sangat-sangat bingung dengan kesetiaannya. Mas Hans berjalan mendekat.
"Sudah kukatakan pikirkan bayi kita. Aku akan jelaskan semuanya setelah kamu melahirkan." katanya. Aku mendongak ke arahnya. "Lebih baik kamu memang ke rumah Ibu, di sana jauh lebih tenang dan lebih baik kau jauhkan diri dulu dari ponsel. Aku hanya ingin kamu melakukan satu hal padaku, Marissa, selama kamu hamil sampai kamu melahirkan, ingat-ingatlah kembali masa-masa kita dulu. Ingat semua kebaikanku padamu, rasa sayangku yang tak pernah berubah kepadamu, setelah kamu melahirkan aku akan ceritakan semuanya, semuanya padamu tanpa kurang apapun. Jadi tolong bersabarlah dan jaga dirimu dan calon anak kita dengan baik." kata mas Hans. Sorot matanya tajam dan sangat dalam sekali. Aku jadi penasaran, sebenarnya hal apa yang ia ingin katakan padaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...