Entah bagaimana ceritanya aku terbangun dalam situasi yang mencenangkan. Hal yang kuingat itu seperti mimpi. Aku bergelung indah dan nikmat dengan seseorang.
Orang itu perlahan menyentuh tubuhku dengan sangat lembut. Beberapa titik ia belai dengan penuh kasih dan kelembutan tangannya yang besar. Aku sampai tak berani membuka kedua mataku. Ia mengecup-ecup kedua bola mataku, lalu hidung, kedua pipiku dan berakhir di bibirku.
Aku membiarkannya menjamah wajahku dengan tangannya yang terus menerus membelai lembut rambutku.
Hal-hal selanjutnya tak bisa kuceritakan. Aku terbuai bisikannya, aku terbuai sentuhan lembutnya, aku terbuai kecupannya hingga pelepasan itu terjadi begitu saja dan aku bernapas sangat lega dan sangat lelah.
Lega?
Lelah?
Tunggu dulu...
Kenapa dalam mimpi aku bisa merasa sangat lelah?
Perlahan dengan dada yang berdebar-debar karena dugaan aneh yang singgah di otak dan ketakutan yang luar biasa, aku membuka mataku dengan sempurna.
Langit-langit yang berwarna putih dengan pencahayaan yang cukup terang. Kukumpulkan semua ingatanku dan berakir di sebuah meja resepsionis hotel.
Dadaku semakin bergemuruh hebat saat aku mendengar dengkuran halus yang berada tak jauh dariku berbaring. Pelan-pelan aku menolehkan wajahku dengan dada yang berdentum-dentum, dengan napas panas yang memburu dan dengan kekalutan yang mendera.
Mas Hans. Wajah mas Hans terlihat jelas ada di sampingku. Ia sedang terlelap dalam mimpinya. Perlahan air mataku merembes jatuh membasahi kedua pipiku. Aku menyingkap sedikit selimut yang menutupi tubuhku dan melihat dengan dada yang rasanya teriris-iris bahwasannya aku telanjang dengan darah yang telah menodai sprei kasur itu terlihat jelas berada di bawah pantatku.
Oh Tuhan...
Apa yang telah kami lakukan?
Perlahan ingatanku muncul. Ingatan yang semula kukira hanyalah mimpi. Aku ingat mas Hans telah tidur di bawah dengan selimut yang membungkusnya dari udara dingin AC yang kami sama-sama lupa untuk mengecilkan volumenya.
Aku tak ingat bagaimana mas Hans bisa tidur di sampingku. Dan bagaimana bisa selimut yang seharusnya menyelimuti dirinya berpindah jadi menyelimuti diriku
Seperti sekelebatan film saja. Aku ingat karena dingin yang menusuk kulit hingga ke tulang-tulangku, aku meringsek memeluk guling yang ada di sampingku. Guling berwajah mas Hans yang kuyakini, karena tak mungkin mas Hans tidur di sampingku karena ia berada di bawah, itu pemikiranku semula.
Karena kesalahan itu dan karena udara dingin yang menerpa kami berdua, jadilah kami membutuhkan kehangatan masing-masing.
Aku ingat bagaimana dengan lembut mas Hans menciumi diriku hingga bajuku tertanggal satu persatu. Kami menyatu dalam diam, kami menuruti hawa nafsu kami. Kami menuruti hasrat kami. Kami melebur dalam rindu yang telah mengukung. Dan aku sangat ingat bagaiaman mas Hans menyebut namaku ketika ia mencapai puncaknya.
Kupikir semua itu hanyalah mimpi belaka, nyatanya adalah sebuah kenyataan yang pahit.
Restu dari Mama Hans belum kami kantongi, lalu bagaimana jika aku hamil?
Mungkin karena isakan tangisanku yang pelan dan berirama itu akhirnya mas Hans membuka kedua matanya. Matanya masih merah ketika menatapku yang sudah basah oleh air mata. Ia menatapku polos lalu memejamkan matanya lagi sejenak. Sepertinya ia belum menyadari bahwa ia dan aku telah melakukan hubungan suami istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Roman d'amour"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...