Aku berdiri dari meja makanku segera mungkin setelah kudengar langkah kaki mas Hans keluar dari kamar mandi. Aku buru-buru memasang headset di telingaku dan duduk santai di dalam kamar.
Kudengar mas Hans memanggilku tapi aku tak menghiraukannya. Berpura-pura gak mendengarkan suaranya. Mas Hans melewatiku yang tertunduk menatap ponsel, ia berhenti sebentar sebelum menuju ke meja makan dan mengecek ponselnya. Aku melirik dan mendapatinya buru-buru memasukkan ponselnya ke saku celana dan pergi ke luar rumah.
Kenapa ia bersikap seperti itu? Pikirku heran.
Kulihat dari jendela kamar, Mas Hans sedang menelepon seseorang sembari berulang kali menatap ke dalam rumah. Mungkin ia takut kalau-kalau aku datang menghampirinya tanpa ia ketahui kalau aku sedang mengintip di balik jendela kamar.
Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi saja mas Hans. Kupanggil ia yang sedang bertelepon tapi ia semakin menjauh dari rumah. Kupanggil lagi ia dengan langkah cepat-cepat dan saat aku sudah berdiri di ambang pintu, ia telah usai melakukan panggilan tersebut dan tersenyum garing ke arahku.
"Siapa mas?" tanyaku padanya berpura-pura tak tahu. Ia menoleh ke kanan kiri, raut wajah bingungnya ketara sekali hingga aku sedikit geram kepadanya.
"Anu... Itu, si Sam... " katanya gagap.
"Siapa Sam, mas?" kejarku bertanya. Dia menoleh ragu ke arahku, lalu berjalan melewatiku dengan wajah bingungnya itu.
"Mandor baru di proyek... " katanya.
"Oh... Kenapa telepon saja sampai keluar rumah segala?" tanyaku selidik.
"Eh? Apa?" tanyanya ulang dengan sedikit gagap. "Lagi di lapangan si Samuel jadinya gak begitu dengar, makanya keluar..." katanya menjelaskan.
"Oh begitu... Mas Hans kenal dan tahu kan sama suaminya Bu Retno?" pancingku dan ia langsung kaget menatapku lagi.
"Eh iya, tahu aja kalau lagi salat jamaah di masjid."
"Emang mas Hans pernah jamaah di Masjid? Kapan?" tanyaku heran. Karena saking seringnya ia keluar kota, aku merasa ia sama sekali gak pernah jamaah di masjid. Ketika aku mengajaknya pun ia selalu mengelak dan mengatakan lelah. Bagaimana mungkin ia bisa tahu dan dekat dengan suami bu Retno kalau begitu? Ia menatapku bingung.
"Saat idul Fitri." jawabnya garing. Aku nyengir mendengar jawaban yang disertai tawa meledaknya. Lucu dan benar sih jawabannya. Kupikir bukan hanya mas Hans seorang saja, diluar sana juga masih banyak orang yang hanya salat jamaah di masjid di hari-hari tertentu saja. Seperti hari jum'at, Idul Fitri dan Idul Adha.
Mas Hans berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke dalam kamar.
"Menurut mas Hans, apa ya yang membuat suami Bu Retno selingkuh dari Bu Retno?" tanyaku.
"Tumben banget sih kamu ngomongin orang terus?" tanyanya mulai risih.
"Ya gak nyangka aja, orang sependiem suami bu Retno dan rajin ke masjid bisa khianatin bu Retno gitu... "
"Jangan bicarakan rumah tangga orang lain lagi yuk, aku bosen dengarnya..." kata Mas Hans. Aku mengangguk pelan. "Lagian kamu lagi hamil, gak baik ah ikut-ikutan gossip begitu." katanya lagi dan aku mengangguk sekali lagi seraya menatap suamiku lesu.
"Kapan mau ketemuin aku sama sekretarismu, mas?" tanyaku.
"Kenapa sih hari ini kamu cerewet sekali!" bentaknya tiba-tiba dengan mata yang melotot. Suara dan kata-katanya barusan itu membuatku kaget hingga perutku terasa nyeri tiba-tiba. Ketika ia menyadari bahwa aku merasa sedikit kesakitan di dalam perut ia buru-buru menghampiriku, tapi entah mengapa tubuhku seketika refleks mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...