16. Murid Baru

13 4 0
                                    

Mega menatap sekali lagi wajah lelaki itu, merekam wajah itu baik-baik dalam ingatannya sebelum lelaki itu di tempatkan dalam peristirahatan terakhirnya.

“Rey Puja Mahesa...” lirih Mega sambil menangis.

“Sayang bangun nak.” ucap Ajeng yang risau karena mendapatkan Mega yang tertidur di pangkuannya dengan gurat wajah yang sedih, air matanya keluar dari sudut mata gadis itu, deru nafasnya tak teratur serta peluh sudah menghiasi wajah cantiknya.

Bukannya tenang justru Mega lebih mengeluarkan air matanya deras bahkan gadis itu terus mengigau tak jelas dan memanggil nama Puja dengan isak ‘kan.

“Sayang bangun,” panggil Ajeng kembali sambil mengelus puncak kepala Mega lembut.

Dengan cepat mata Mega terbuka sontak dia mendudukkan badannya dan langsung memeluk Ajeng erat.
“Sayang, hey kamu kenapa? Mimpi buruk?”

Dengan nafas yang memburu Mega menangis. “Ibu, Puja—bu... ”

Ajeng membalas pelukan Mega tak kalah erat. “Iya sayang—Rey kenapa?”

Mega mendongak menatap Ajeng dari bawah. “Puja gak mungkin ninggalin Mega kan bu? Puja masih hidup kan? Dia belum di makamkan ‘kan bu?” tanya Mega berturut-turut dengan air mata yang mengalir.

Ajeng mencakup wajah Mega dengan kedua tangannya sambil menghapus air mata gadis itu. “Kita berdo'a ya nak semoga operasi–nya berhasil dengan lancar.”

“Jadi Puja belum meninggal?”

Ajeng mengangguk sambil tersenyum. “Kita tunggu hasil operasinya.”

Tiba-tiba lampu ruang operasi mati, seorang dokter dengan pakaian khusus operasi keluar.

Otomatis semua orang berdiri dari mulai Mega, Ajeng, Khamdan bahkan semua anggota gengnya Puja berdiri menunggu hasil yang akan di sampaikan dokter itu.

Dokter itu melepaskan masker yang menutupi bagian setengah wajahnya. “Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar, peluru yang bersarang di perut pasien berhasil kami keluarkan. Kita tunggu sampai duapuluh empat jam ke depan kalau pasien belum sadarkan juga, mohon maaf bisa kami simpulkan pasien mengalami koma.”

Kata-kata terakhir dari dokter itu membuat semua orang di sana yang mendengarnya mendadak lemas. Tentu dengan Mega dan
Ajeng yang mengeluarkan air matanya.

“Kalian minta do'a yang di atas supaya pasien bisa segera sadar dan tidak koma. Kalau ada apa-apa segera panggil saya. Jika tidak ada yang ingin di bicarakan lagi, saya permisi.” dokter itu melenggang, melangkah pergi keruangan nya.

Pintu ruangan operasi terbuka. Para petugas medis mendorong brankar Puja keluar untuk di pindahkan ke ruang rawat inap. Dapat mereka lihat ada banyak alat yang terpasang di dadanya, alat bantu bernafas tak lupa dengan perban yang melilit di bekas operasi tadi.

Mega mengikuti kemana brankar Puja di pindahkan setelahnya mereka semua boleh melihat kondisi Puja dengan syarat harus bergantian. Setelah Khamdan dan Ajeng keluar dari ruangan Puja kini giliran Mega yang akan melihat kondisi cowok itu.

Saat baru memasuki ruangan, Mega di suguhi pemandangan Puja yang terbaring dalam keadaan lemah dengan segala alat alat yang tak Mega ketahui yang tertempel di sekitar tubuhnya.

Mega duduk dan mendekatkan dirinya ke arah Puja. “Hay...”

Mega memberanikan mengangkat tangan kanannya untuk mengelus lembut rambut Puja dan pipi Puja. “Pules banget ya tidurnya.”

“Lo nggak kangen apa ribut sama gue?” tanya Mega.

“Em kira-kira gue harus manggil lo apa ya? Jangan Puja deh nanti lo tambah ke-geeran dikira gue muja lo.”

 Dia Rey PujaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang