11. Lampu Kota Malam

7 2 0
                                    

Kerja kelompok di rumah Gusti selesai tepat pukul delapan malam lewat empat puluh lima menit. Dan sekarang Mega berjalan ke pertigaan jalan ujung komplek perumahan Gusti untuk naik taksi. Karena Mega tidak mau di bonceng Puja lagi, bisa-bisa nanti dia kehilangan nyawanya. Mega tidak mau mati konyol. Jalan yang di lalui Mega lumayan sepi, tapi Mega mencoba untuk tidak perduli.

“its okay Mega lo tenang, slow, gak bakalan ada setan yang berani ganggu lo. Dan lo harus percaya sebentar lagi taksi pasti lewat.” ucap Mega menyemangati dirinya sendiri.

Mega merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.

Kenapa jadi merinding gini astaga.

Mega berlari kecil ketika melihat ranting lalu mengambilnya cepat, lumayan lah buat jaga-jaga. Mega kembali berjalan pelan sedikit lagi ia akan sampai di pertigaan gang.

“ayoo semangat Mega jangan takut! ” rapalnya dalam hati.

Namun ada seseorang yang menepuk bahunya secara tiba-tiba. Tentu Mega kaget dan sangat ketakutan. Mega langsung memukulkan orang itu dengan ranting bertubi-tubi.

“AAAAA PLEASE JANGAN CULIK GUE!”

“PLEASE DONG JANGAN GANGGU.”

“GUE GAK BAWA DOMPET, SUER KALO GAK PERCAYA SILAHKAN CEK.” saking ketakutannya Mega berteriak tidak jelas bahkan pukulannya semakin membabi buta sedangkan seseorang yang di pukuli mengaduh kesakitan berkali-kali.

“Hey, hey, aduuh. ini gue.” ujar seseorang itu.

“please dong jangan sok kenal! ” Mega masih belum mau membuka matanya bahkan tangannya masih gencar untuk memukul orang itu.

“Meganthropus sakit dong, bisa berhenti mukulin gue gak?!”

“Meganthropus? ” Mega mengerutkan dahinya, ini suara nya kayak kenal. Sebentar-sebentar cuma ada satu orang yang berani mengubah namanya, siapa lagi kalau bukan cowok songong itu alias dewa jadi-jadian. Bangke!

Mega membuka matanya dan didapati Puja yang tengah menatapnya. Bukannya berhenti untuk memukul malah Mega kembali melanjutkan pukulannya yang semakin brutal. “A—aduh, aduh.”

“Rasain lo, rese, bikin gue takut aja! ” Mega memukul bertubi-tubi. Sedangkan Puja melindungi bagian wajahnya dengan kedua tangan.

“Udah dong, wajah ganteng gue nanti bisa rusak.“ ucap Puja memohon.

Mega menghentikan aksinya dengan nafas memburu. Ternyata capek juga memukul cowok songong itu tenaganya sampai habis gini. Mega membuang ranting itu ke tepi jalan lalu mengusap keningnya yang berkeringat.

“Rese lo bikin gue kaget aja. Jantung gue udah mau lompat nih! ” omel Mega sambil mengatur napasnya.

“Sorry, gue gak bisa biarin lo pulang sendiri, orang gue yang tadi ngajakin bareng masa pulangnya lo sendiri? Gak sopan.”

Mega memutar bola matanya jengah.
“Hilih bicit, pasti ini cuma akal-akalannya lo aja kan? Buat ngerjain gue lagi.”

“Ngaku lo, basi!” Mega berdecih.

Puja menghela napasnya dalam. “Tolong percaya,” ucap Puja memohon.

“Alasan murahan! ”

“Oke fine! Kalo lo gak mau pulang bareng gue. Sekedar info gue gak bisa jamin nanti kalau ada yang gangguin lo, yang terbang-terbang sambil ketawa gimana?”

Mega mematung sesaat. Percayalah siapa yang tidak takut berjalan malam-malam sendirian di jalan yang sepi? siapapun pasti takut. Walaupun Mega mengatakan tidak takut dalam hati Mega begitu was-was.

 Dia Rey PujaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang