12. Kecewa

10 2 0
                                    

“Yang pagarnya cat biru.” Mega menunjuk ke pagar rumahnya. Mobil sedan yang ditumpangi mereka akhirnya berhenti di depan pagar. Mega cepat-cepat turun dari mobil itu takut jika orang tuanya khawatir. Tapi jika dipikir kembali orang tuanya tidak mungkin khawatir toh dia bukan prioritasnya karena cuma yang ada dipikiran mereka hanya kerja, kerja, dan kerja!

“Thanks,”  ucap Mega berdiri di samping mobil di depan pagar yang tak jauh darinya.

“Buat? ” Puja menatap Mega dengan alis terangkat sebelah.

Mega mengigit pipi dalamnya, bingung harus mengatakannya bagaimana. “Ehmm—karena lo udah ngajakin gue liat lampu kota malam.”

Puja yang mendengar balasan itu hanya terkekeh lalu cowok itu mengangguk.
“Lo gak nawarin gue buat mampir?”

Mega lantas melotot, tuh‘kan udah di kasih hati minta jantung. Dasar ngeselin. “E—eh jangan!”

Puja keluar dari mobilnya dan berdiri beberapa senti di depan Mega. “Kenapa?” Mega terdiam,dia bingung. Tangannya menggaruk lehernya yang tak gatal.

Keterdiaman Mega membuat Puja kembali mengangkat bicara. “Gue sekalian mau ngomong sama orang tua lo, pasti mereka khawatir anak perempuannya baru pulang malam.”

Mega tersenyum miris. Khawatir? Sepertinya kalimat itu tidak ada bahkan tidak akan pernah ada dalam kamus kedua orang tuanya.

“Gak papa tadi gue udah ijin.” alibinya.

Mega melihat Puja yang mengangguk lagi. “Ya udah, masuk gih. Udah malem,” ujarnya.

Mega menatap Puja. “Nanti. Gue mau liat lo pulang dulu.”

Puja yang mendengar nya terkekeh. Sejak kapan Mega bersikap aneh seperti ini? Memikirkannya membuat Puja heran. “Gue disini nunggu lo masuk duluan.”

Mega tak bisa mengelak, ia mengangguk lalu berbalik membuka gembok pagarnya. Dia masuk lalu menutup gerbang kembali, masih dalam posisinya menatap Puja yang masih didepan sana.

“Kenapa belum pulang?”

Puja masih tetap didekat mobil hitam itu menatap Mega yang terhalang pagar. “Mau mastiin aja, lo masuk rumah dengan selamat.” bohong Puja mengatakan itu dengan bohong. Padahal dia masih disini karena merasa heran melihat rumah gadis itu yang sudah gelap, ia takut jika dirinya meninggalkan tempat ini akan terjadi apa-apa pada gadis itu. Jujur ia merasakan firasat tidak enak entah apa Puja pun tak tau.

Mega mengangguk. “Ya udah kalo gitu gue masuk dulu.”

Sebelum meninggalkan pagar Puja memanggilnya. “Meganthropus? ”

Panggilan Puja membuat Mega segera berbalik, menatap cowok itu lagi. “Apa? Dan satu lagi, katanya lo udah gak mau manggil gue manusia purba?”

Puja nyengir kuda. “hehe gue suka unik aja.”

Mega menghembuskan napasnya kasar, tak lupa bola matanya memutar malas serta pipinya yang di buat mengembung.
“Capek gue berdebat sama lo. Gak akan ada habisnya.” Mega membalikkan badannya kembali melanjutkan langkah yang tadi sempat tertunda.

“Meganthropus?”

Panggilan itu lagi, membuat Mega membalikkan badannya kesal bercampur marah. “Apa lagi sih dewa jadi-jadian?”

Puja tersenyum lebar hingga kedua matanya tak terlihat lebih tepatnya membentuk persis seperti bulan sabit. “Bye... ” cowok itu menempelkan ujung jari telapak tangannya di bibir lalu ia angkat sambil berdada-dada.

Mega yang melihat aksi konyol cowok itu pun bergidik jijik. Lalu berbalik sebelum melangkah kembali otot pipinya terasa sangat kaku akibat menahan senyum. Yang membuat sudut bibirnya berkedut. A—ah kenapa juga dia jadi sebahagia gini?

 Dia Rey PujaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang