Rafaan berdiri di tepi jendela ruangannya, kedua tangan dia masukan pada masing-masing saku celana, tatapannya kosong ke arah jalanan yang bisa dijangkau pandangannya dari lantai empat gedung ND Media.
Sedikit membuat risau hatinya, setelah mendengar pemaparan Nenti beberapa saat lalu. Kejadian malam itu sudah merenggut sesuatu yang selama ini Shagia jaga mati-matian, ciuman pertamanya untuk seseorang yang menjadi suaminya kelak. Aneh memang, bahkan Rafaan sempat tak mempercayainya.
"Bohong kalau saya bilang Shagia tidak pernah pacaran. Nggak lah, Pak. Shagia masih normal, dia sempat beberapa kali menjalin hubungan. Tapi seperti yang saya katakan tadi, dia sangat menjaga dirinya dari siapapun kekasihnya itu. Dia bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memutuskan pacarnya yang mulai meminta macam-macam, sekalipun Shagia sangat menyukai pria itu."
Rafaan menarik napas gelisah. Hari yang mulai petang seolah tengah meledeknya, egois! kenapa dia malah menunggu gadis itu datang? bukannya menemuinya dan meminta maaf ....
**
"Neng!" Mira mengetuk pelan pintu kamar putrinya."Iya, Bu!"
"Ada tamu," suara Mira memelan.
Shagia membuka sedikit pintu, "siapa?" dia ikut berbisik.
"Nak Rafaan,"
"Bilang saja, Neng lagi nggak enak badan, Bu."
"Ih, jangan gitu atuh, Neng! masa ibu minta nak Rafaan pergi. Lagian kamu teh kenapa? mau sampai kapan sembunyi terus di kamar? anak perawan ngurung diri di kamar nggak baik, loh. Nanti dikawin Jin!" cehcar Mira. Wanita pendiam itu kalau sudah ngedumel, paling nggak bisa ditentang.
"Ibu, ih! iya, Neng rapih-rapih dulu!"
"Nah, gitu atuh geulis, hayu geura!" Mira menyorong pelan bahu putrinya.
Walau setengah berbisik, Rafaan bisa mendengar pembicaraan ibu dan anak di depan ruangan yang ada di balik ruang tamu itu. Dari perbincangan itu kini Rafaan juga mengetahui kalau selama ini ternyata Shagia bukan hanya tidak masuk kantor, gadis itu bahkan tidak keluar kamar.
Shagia menutup kembali pintu kamar. Gadis itu berjalan mendekati cermin hias, lalu menyugar rambutnya kebelakang agar bisa melihat lebih jelas bagian lehernya dari pantulan cermin. Bekas itu kini mulai memudar setelah empat hari. Tentu saja bukan tanpa alasan kenapa Shagia mengurung diri di kamar. Cumbuan Rafaan malam itu meninggalkan tanda merah keunguan di sana, apa yang harus dia jelaskan saat orang-orang di sekitar menyadarinya? Jadi, lebih baik dia bersembunyi saja.
Mungkin ini sudah saatnya dia keluar, ada suatu hal juga yang ingin segera Shagia sampaikan pada bosnya itu. Shagia keluar kamar, setelah beberapa saat menyiapkan diri untuk berhadapan dengan Rafaan lagi. Di waktu yang bersamaan Mira baru saja keluar dari kamar sebelah, menyangga sebuah dompet yang baru saja ditutup retsletingnya.
"Neng, ibu ke warung dulu, ya!" ijin Mira seraya berjalan melewati putrinya.
Shagia merutuk dalam hati, kenapa ibunya harus meninggalkan rumah di saat seperti ini?
Rafaan mendongak saat gadis yang dia nanti tiba di ruang tamu, saat melihatnya ada perasaan tenang yang seketika menghinggapi hatinya yang beberapa hari ini di buat tak karuan.
Sementara Shagia memalingkan pandangan enggan melihat Rafaan, dia takut ... takut tak bisa menahan diri karena penampilan Rafaan kerap kali meresahkan dalam pandangannya. Meresahkan karena terlalu memesona, apalagi dengan outfit serba hitam yang melekat begitu sempurna di tubuh pria itu.
"Kita bicara di luar saja, Pak!" ucapnya tanpa menatap Rafaan, bahkan tak memberi kesempatan bosnya itu menjawab 'ya' dia sudah pergi lebih dulu.
Dua orang itu masing-masing mendudukan diri di sisi bangku, menyisakan ruang kosong di bagian tengah. Bangku di bawah pohon yang menghadap langsung ke arah lapangan tempat anak-anak rusun bermain saat ini. Bangku yang sama, yang dulu mereka gunakan saat membicarakan permasalahan Shagia dan Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei Shagia
RomanceTerjebak perasaan pada dua orang pria dalam waktu bersamaan, Shagia terjebak dalam cinta dua bersaudara. Devan, karena perasaan yang muncul sejak pandangan pertama. Sementara Rafaan, karena suatu malam yang membuatnya terikat bersama pria itu.