Hari-hari di Jogja

340 17 2
                                        

***
         Baru beberapa kilo meter sebelum masuk tol, mobil yang Rafaan dan Shagia tumpangi tiba-tiba berhenti sendiri. Saat itu Rafaan mulai panik, karena kendaraannya tak bisa dihidupkan.

Di luar hujan cukup deras, dan hari sudah mulai gelap, karena sore disertai mendung. Rafaan memeriksa ke kesekitar, dia lupa ini mobil baru, ia belum sempat menaruh payung atau jas hujan. Tatapannya beralih keluar, ada harapan untuk mereka. Dia merogoh saku, mengeluarkan dompet dan ponselnya lalu memberikannya pada Shagia.

"Selamatkan barang-barang saya, jangan sampai basah. Kamu tunggu di sini, saya akan keluar meminta bantuan," ujar Rafaan.

"Basah-basahan, Pak?"

"Gak ada cara lain, kita bisa-bisa kehabisan nafas kalau di dalam mobil terus." Rafaan mulai membuka pintu dan menerobos hujan. Dalam derasnya hujan Shagia tak bisa jelas melihat kemana bosnya itu pergi.

Beberapa menit kemudian, Rafaan datang dengan sebuah payung besar dan meminta Shagia membuka pintu. Shagia membuka pintu, dia memeluk tasnya agar tidak kebasahan saat keluar dari mobil. Sepayung berdua mereka menerobos hujan sampai di sebuah bangunan beratap luas. Ternyata itu sebuah bengkel. Terlihat ada beberapa mobil muatan besar yang terparkir disana. Tak berapa lama, beberapa orang bergotong royong mendorong mobil Rafaan masuk ke bengkel, mereka rela hujan-hujanan.

"Terimakasih, Bang!" seru Rafaan pada orang-orang yang sudah membantu.

"Sama-sama," sahut mereka bergantian.

"Nanti saya kasih uang sabun," timpal pria itu lagi.

"Sip, santai saja, Bos," sahut lelaki bewok yang ikut membantu.

Shagia memperhatikan Rafaan dari atas sampai bawah, semuanya basah, "Bapak, bajunya basah semua."

"Kata pemilik bengkel, di sebelah ada toko baju, saya beli baju ganti dulu. Dompet?" Rafaan menengadahkan tangannya yang menggiggil.

Shagia merogoh kedalam tas, lalu memberikan dompet pada pemiliknya. Rafaan pergi mengenakan payung ke toko sebelah.

Shagia menyilangkan tangan ke tubuhnya, dia kedinginan. Saat melihat sekeliling hampir semuanya laki-laki, gadis itu sedikit tidak nyaman dengan kondisi ini.

Duapuluh menit kemudian, Rafaan yang sudah berganti baju akhirnya datang, dia memakai hodie abu-abu, dipadu celana training, dan sendal jepit. Sesaat Shagia terkesima melihat penampilan Rafaan yang lain dari biasanya itu, jauh dari kesan angkuh seperti yang biasanya dia lihat.

"Hei, kita pesen mie, yuk!" ajak Rafaan seraya melirik ke arah warung di pojokan yang menyatu dengan bengkel.

"Baju kamu tidak ada yang basah?" tanya Rafaan setelah mereka sama-sama duduk di dipan yang ada di depan warung, sebelumnya mereka sudah memesan dua mie rebus dan dua cangkir teh hangat.

"Aman, Pak."

"Baguslah, semoga mobilnya bisa selesai malam ini. Sambil menunggu hujan reda," kata Rafaan disambut anggukan Shagia.

Mie rebus pesanan mereka datang, akhirnya mereka bisa menikmatinya dan menjadikan tubuh mereka lebih hangat. Selesai menyantap mie, montir bengkel yang menangani mobil Rafaan menghampiri, dia mengatakan tidak bisa menangani mobil hari ini karena tidak bisa mempelajari penyebab mogoknya di karenakan mobil itu jenis mobil tua yang langka. Ditambah lagi beberapa mobil yang sudah mengantri dari siang, dan karyawan bengkel juga butuh beristirahat.

"Paling besok, gimana? Nggak apa-apa tuan sama istrinya nungguin semalaman disini?" tanya pak montir.

Rafaan dan Shagia saling melirik, seolah ada kupu-kupu mengelitik perut mereka karena mereka dinggap pasangan suami istri. Rafaan berdehem, sama sekali tidak berniat mengelak. Doa lalu melirik pak montir seraya menggedikkan bahu, tanda setuju-setuju saja.

Hei ShagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang