17. Tentang Kai

563 120 61
                                    

Kai menyeruak masuk begitu mendengar bunyi riuh dari kamar mandi. Sontak, aku yang sedang berusaha menyesuaikan aliran darahku semakin dikejutkan dengan ulahnya.

Tenggorokanku tercekat, lidahku kelu, mulutku gagu, manik mataku melebar sempurna seperti pupil kucing yang membesar dalam kegelapan. Rasanya aku ingin punya jurus menghilang saat itu juga. Lenyap ditelan bumi. Tak ada citra baik lagi yang tertinggal di depan Iblis Manis ini.

"Jangan lihat ke bawah ...." cicitku lirih, dengan nada mengiba.

Rupanya salah besar. Laranganku justru menarik wajah Kai menunduk dan mengarahkan senter ke bawah. Tubuhku kaku. Tungkai merapat, satu tangan menarik ujung kaus, menutup pangkal paha, sementara tangan lain masih berpegangan pada tiang infus. Pemandangan yang memalukan sekaligus ... menyedihkan!

"Tunggu, kamu telanjang!"

Haruskah Kai menjelaskan kondisiku? rutukku dalam hati.

Namun, Kai rupanya tak bereaksi apapun. Ia tak berteriak layaknya gadis polos yang baru melihat rupa tubuh lelaki. Dia hanya berbalik, mengambil gayung dan mengguyur lantai di depanku.

"Aku bersihkan serpihan kaca dulu. Kamu telanjang kaki, takutnya telapakmu akan tertusuk."

Aku mengerjap. Kepalaku yang dari tadi terasa menggelembung, serasa meletus. Kai tidak menggubris organ kebanggaanku yang kugenggam sendiri. Kudukku yang meremang saking malunya, rebah begitu saja.

"Ayo, aku tuntun ke kasur."

"Aku ... belum memakai celana," jawabku meringis.

Mata kucing Kai mengerjap. Ia tidak lagi bertanya, juga tidak ada tanda-tanda terkejut. "Iya, nanti aku ambilkan. Kamu harus keluar dulu dari kamar mandi, sebelum kamu pingsan. Kamu mau dalam keadaan tak bercelana digotong orang lain?"

Aku bergidik, memberikan cengiran dan menggeleng.

"Ayo!"

Kai yang lebih kecil dariku tertatih menahan tubuhku yang limbung. Kami berdua berjalan pelan menuju ranjang, dan Kai mendudukkanku.

Buru-buru aku menarik kausku. Duduk dengan kedua paha menangkup, walau rasanya mengganjal tak nyaman.

Kai berbalik lagi ke kamar mandi dan mengambilkan celanaku. "Ini Sangka. Perlu aku pakaikan?"

Pipiku terasa panas. Aku yakin telingaku memerah. Aku seperti anak gadis yang pengecut. Menundukkan wajah, tak berani menantang wajah Kai.

"Aku bisa sendiri," kataku lirih.

"Hahaha, aku juga bercanda. Jangan sampai mataku ternoda."

Aku berdecak dan merutuki dian itu dalam hati. "Sangka, santai! Aku akan merahasiakannya. Anggap saja aku dokter yang merawatmu. Ok?" tambah Kai.

Begitu Kai berlalu, buru-buru aku memakai celana dalam kondisi gelap. Aku tak peduli apakah celanaku terbalik luar dalam atau depan belakang. Yang jelas aku tahu aku memakai celana dalam tak tertukar di luar.

Aku merubuhkan badanku, menutup seluruh tubuh sampai kepala dengan selimut. Aku ingin hilang ingatan. Insiden ini memalukan sekali! Sungguh ... karena peristiwa ini aku tak bisa lagi memandang Kai, karena begitu menatap wajahnya, gejala serupa malaria itu menyerangku lagi.

***

Sejak kejadian itu, aku cenderung menjadi pendiam. Kai hanya bicara seperlunya. Aku berusaha melupakan peristiwa memalukan itu, tak ingin mengingat-ingat lagi. Terlebih hari-hari ke depan, aku pasti tak akan tenang karena kami mendapat undangan untuk perpisahan sekaligus menyambut dokter ptt yang baru datang. Itu artinya Hera mendekat.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang