8. Makan Malam

595 125 40
                                    

Kuy biasakan klik bintang dan komen. Biar othornya happy.

❤Happy reading❤

Aku terkesiap kala sensasi panas, dan basah hinggap di pipiku. Belum lagi lengkingan suara Kai yang memulihkan aku dari keterkejutan. Membanting celana jeansku begitu saja hingga air memuncrat mengenai wajah, Kai berbalik keluar dari kamar mandi sambil menghentakkan kaki kasar.

"Ya Tuhan, iblis bener! Kenapa aku ditampar?!"

Aku tidak terima, aku berjalan cepat mengejarnya dan meraih pergelangan tangan Kai. "Kenapa kamu memukulku?" tanyaku dengan gerakan dagu terangkat.

"Tanyakan pada matamu yang jelalatan! Apa yang baru saja dia lihat!" Kai menepis tangannya dan masuk ke dalam kamar yang tidak boleh aku lewati sama sekali. Ia membanting daun pintu dengan kasar membuatku geleng-geleng kepala dan dalam hati menyumpahinya.

"Ish, kalau ga mau dilihat ya kamu tutup! Tuh tali behamu jatuh ke lengan!"

"Sanggggkkkaaa!!!" Histeria di balik pintu itu membuat aku terkekeh senang.

Aku sudah berusaha mengunci bibir, kalau melihat yang segar menggantung begitu bagaimana mata ini tidak tergoda? Salahkan aku yang menjadi lelaki tulen, sehingga bila melihat anatomi tubuh wanita akan bereaksi secepat mungkin.

Dengan senyum kemenangan karena membuat Iblis Manis itu menjerit, aku kembali ke dalam kamar mandi untuk melanjutkan mencuci pakaian.

Walau awalnya terasa sulit, tetapi aku melakukan apa yang Kai ajarkan. Aku menarik bibir penuh kepuasan begitu aku selesai menggantung pakaian basahku di gantungan gudang karena kata Bunga berbahaya bila menjemur di luar saat petang dan malam hari. Bajuku bisa raib dicuri orang.

***

Sore ini, menuruti ajakan Pak Lukas, aku dan Kai berangkat ke rumah kepala puskesmas yang tak jauh dari puskesmas. Kami berjalan mendaki melewati tanah lapang, komplek perumahan guru, kemudian melewati gereja dan komplek sekolah yang di kanannya hanya ladang tak berpenghuni.

"Kalau kita lewat sini malam hari ngeri juga ya," kataku mencari topik pembicaraan karena sejak tadi Kai hanya diam. Aku memang merasa bergidik saat melihat pohon besar yang daunnya rindang. Bukan berarti aku penakut, hanya saja aku merasa pohon itu sudah tua dan terlihat aura mistis yang mengelilinginya.

Kai hanya diam. Dia terlihat tak memperhatikanku. Aku menyangka dia sangat pemberani sebagai perempuan karena bertahan mengabdi di sini selama satu tahun lebih.

"Kamu masih marah?" tanyaku tetap kukuh berusaha mengajak Kai bicara. Aku mendengkus. Pertanyaan retoris yang aneh. Sudah jelas dari alis mata Kai yang bertaut di pangkal hidung, bibir yang mencebik dan melengkung ke bawah, adalah tanda bahwa Kai tidak senang dengan kelakuanku.

"Maaf."

"Kamu jadi laki cerewet banget! Bisa ga sih diam?"

Aku berdecak. Diam salah, ngomong salah. Dasar wanita!

"Ya udah, aku diam."

Kai menaikkan sudut atas bibirnya, melengoskan wajah ke arah deretan ruangan kelas kosong yang terlihat dari jalan desa. Akhirnya, hanya suara derik kerikil yang kami lewati menemani perjalanan kami.

Lima menit kemudian kami sampai di rumah sederhana bercat hijau tosca. Anjing yang menyalak menyambut gembira kedatangan kami. Seorang perempuan gemuk yang pendek datang tergopoh memberi senyuman kepada kami berdua.

"Bapa, Enu dan Nana Dokter sudah datang! Oleee, reba e (Aduh, gantengnya). Hati-hati, Nu, kamu bisa jatuh cinta sama Nana ... Ce ngasang (siapa namanya)?" Perempuan itu terus berbicara dalam bahasa Manggarai.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang