🏡1. Awal Petualangan🏡

1.3K 180 29
                                    

Udara dingin kota Ruteng di bulan April, menyapaku setelah sebelumnya aku didera oleh panasnya kota Kupang yang menyengat. Kini aku menginjakkan kaki untuk pertama kali di ibukota kabupaten Manggarai, sebuah kota kecil di kaki gunung Ranaka, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Suara bising deru mesin pesawat di belakangku masih terdengar jelas. Aku mengedarkan pandang sejenak ke segala arah, dan sejauh mata memandang aku hanya melihat perbukitan yang hijau. Aku tak menyangka akan berada di kota kecil ini untuk mengabdi.

Kota kecil? Ini padahal sudah kota kabupatennya, tapi terlihat sepi tak seperti Surabaya yang ramai lalu lalang kendaraan. 

Aku kini berjalan melintasi landasan pacu Bandara Frans Sales Lega. Tak ada bus bandara yang mengantar jemput penumpang, karena memang bandara itu begitu kecil dan cukup untuk mendaratkan pesawat yang mengangkut tak sampai 100 orang penumpang.

Sebenarnya aku kesal dengan keputusan kelompokku mendarat di Ruteng. Bagaimana tidak? Aku sebenarnya ingin penerbangan langsung ke Labuan Bajo dari Kupang. Namun, entah kenapa kami mendapat tiket hanya sampai Ruteng dan dilanjutkan perjalanan darat dengan travel yang sudah dipesankan oleh temannya Tegar. Saat aku menolak, aku tidak bisa memberi alibi. Itu artinya aku harus mengakui bahwa aku benar-benar anak manja, karena aku mabuk darat, bila tidak menyetir sendiri.

Ya, sekarang aku sudah terdampar di sini. Aku tidak pernah menyangka, keputusanku untuk tugas di pedalaman ini, bermula dari kegagalan demi kegagalan yang kupetik saat mendaftar Program Pendidikan Spesialis Interna. Yang paling parah, adik laki-lakiku yang terpaut satu tahun dengan aku—yang baru saja lulus—diterima di program pendidikan spesialis Bedah. Padahal kalau diingat, dia selalu tidak pernah ingin menjadi dokter. Lha kok, sekarang malah jadi residen Bedah. Sementara aku yang sudah bercita-cita menjadi dokter sejak kecil, prestasinya selalu di bawahnya.

Jujur aku tertekan karena sering dibandingkan. Terlebih sejak saat kegagalan terakhirku mendaftar di spesialis Interna, bukannya dihibur, aku justru selalu mendapat pandangan tak mengenakkan dari Papi yang menganggap aku terlalu santai, hanya suka bersenang-senang, dan jarang berprihatin. 

Sungguh, hatiku hancur karena kecewa sebab hidup tidak berjalan sesuai dengan rencanaku dan, Eden, adikku, bisa mengukuhkan diri lebih baik dariku. Oleh karena itu, akhirnya aku memutuskan untuk menepi serta bersemedi mencari ilham. Siapa tahu setelah turun gunung dan amal baikku melayani orang-orang di pedalaman diterima oleh Tuhan, aku bisa diterima lagi tahun depan.

Itu harapanku ….

Tapi, sepertinya, sebelum mencapai angan-angan yang ada di awang-awang, halangan pertama harus kutaklukkan. Mencapai Labuan Bajo dengan selamat dan bernyawa. 

***

Mobil sudah dinyalakan mesinnya. Getarannya bisa aku rasakan dari tempat aku duduk di kabin lajur paling belakang. Tempat itu yang paling aku benci bila terpaksa menaiki mobil. Hanya karena aku makhluk berbatang, para wanita itu ingin diistimewakan dengan duduk di depan, atau di belakang supir. Sedang kami para pejantan, baiklah … kami hanya menurut daripada mendapat semburan dari mulut cerewet Olla, gadis subur yang berkulit putih.

“Sangka, lu belakang sendiri, sama Bimbim, Tegar!” Olla mulai menampakkan taringnya.

Aku mendengar Tegar hanya mendesah dalam ketegarannya, sedang aku lebih mengesah, merutuk dalam hati. 

“Olla, bisa nggak aku di depan aja? Aku mabuk.” Aku memberikan muka memelas.

Tapi, Olla melayangkan tatapan sengitnya dengan mata memicing. Aku bergidik. Gadis tambun itu seperti banteng yang mendengus hendak menerjang apapun di depannya. “Ck, Sangka, kalau lu anak Mami, jangan deh ikut PTT. Kita ini dokter! Harus mandiri. Cemen banget sih pake alasan muntah. Yang ada Ladies first! Lu lakik bukan?!”

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang