16. Insiden Dian

546 119 58
                                    

Aku berusaha tidak mengindahkan rencana kedatangan Hera. Aku pun tidak berusaha menghubunginya, kalau dia tidak menghubungiku. Mungkin, dia ingin memberikan kejutan padaku. Aku tidak mau dipusingkan dengan Hera. Otakku saat ini terasa sangat kusut, ketika malaria menyerang. Badanku sangat lemah tak mampu berpikir lagi.

Kai masuk sambil membawakan makanan untukku. Sepertinya ia hari ini tidak masuk kerja dan sibuk mengurusiku. Mengingat hal itu aku menjadi malu. Kai benar-benar selalu bisa merusak image-ku. Aku tidak bisa bersikap cool bila berhadapan dengan Iblis Manis itu. Seolah ia dalam sekejap bisa mengubah aku menjadi seorang lelaki lemah dan manja.

Ketika Kai masuk, aku sedang menelepon Mami yang menanyakan keadaanku. Padahal aku tidak menceritakan bahwa aku sakit. Tapi, Mami selalu tahu apa yang aku rasakan dan alami, walau jarak di antara kami membentang.

Masih menungguku bercakap, Kai duduk di tepi ranjang. Mendengar suara Mami menyusup telinga, dan netraku sekarang dihadapkan seorang gadis yang judes tapi keibuan, membuat hatiku menjadi tenang. Keberadaan Kai seolah seperti Mami ada di dekatku.

Aku menyudahi panggilan dengan Mami. Kai tersenyum tipis di wajah. Ah, tidak! Kenapa jantungku jadi berdebar tak menentu lagi. Kurasa gejala malariaku, semakin parah saat aku berada di samping Kai.

"Mami?" tanya Kai yang kujawab dengan anggukan. Lagi, Kai menarik bibir, yang membuat aku salah tingkah.

"Aku ... anak Mami banget ya?"

Kai terkekeh. "Kalau bukan anaknya Mami, lalu kamu keluar dari batu gitu?"

Aku mengulum senyum. Selalu saja Kai menanggapi santai, dan kadang ketus. "Iya, sih."

"Ayo, makan dulu. Aku buatin kamu bubur sumsum, biar gampang nelannya." Kai mengaduk bubur, meratakan saus gula di atas bubur warna putih. Kini bubur itu berubah menjadi coklat muda.

Asap mengepul menghantarkan aroma manis nan gurih yang lamat-lamat aku hidu. Manik mataku masih memindai gerak-gerik Kai. Sejenak hanya denting sendok yang beradu di atas piring yang terdengar.

"Kai, pasien kemarin ... Vi itu. Gimana kondisinya?" tanyaku mengusir keheningan yang membuat aku canggung.

"Kondisinya sudah lebih baik. Tadi Kak Billy sempat ngecek, karena aku mintai tolong. Katanya, perlu observasi sehari lagi, setelah itu mungkin bisa pulang."

Aku mengangguk-angguk paham. Aku merasa tak enak selalu merepotkan orang-orang di sekelilingku.

"Ayo, makan dulu!"

"Aku makan sendiri," kataku cepat.

"Ok! Ini." Kai memberikan piring di atas pahaku. Hawa hangat merambat menembus selimut yang menutupi separuh badan.

"Kai, makasi ya. Oya, jangan terlalu baik dan lembut dong. Kalau aku baper gimana?"

Tawa Kai menguar keras. Gelaknya membuat gigi putih yang berjajar rapi itu terkuak. Sungguh, kenapa kinerja tubuhku menjadi tak teratur setiap menatap wajah manis yang bermata kucing itu. Kai serupa kucing yang ingin kuelus dan kumanja.

Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan! Kai itu bukan kucing! Tapi dia macan kecil yang bisa mengaum. Salah-salah kamu dicabik-cabik sama dia!

Kekehan Kai terhenti. Ia menatapku dengan mata sipitnya. "Sorry, Sangka! Aku ga minat dengan cowok lemah kaya kamu! Makanya jangan baper! Aku cuma ga pengen ada dokter mati kena malaria di rumah dinas ini. Ntar aku juga masuk koran dong. Headline–nya : 'Karena tidak mau mengurus teman sejawat, dokter gigi berinisial SK membuat seorang dokter umum (SN) mati terlantar karena terserang malaria'."

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang