23. Jalan-jalan

507 114 35
                                    

Hera ingin diajak jalan-jalan untuk menghabiskan hari Minggu ini. Rencana jalan-jalan itu cukup mendadak, dan berawal dari percakapan saat sarapan.

"Kira-kira tempat mana yang asyik didatangi?" tanya Hera antisias. 

"Bagaimana kalau kita ke sungai perbatasan dengan Kabupaten Manggarai," usul Bunga.

Kai mengerutkan alisnya menimbang-nimbang. "Boleh juga. Cukup dekat bukan?"

"Bisa berenang?" tanyaku.

"Bisa sih, Om. Tapi beberapa waktu lalu ada yang tenggelam."

Hera bergidik. "Gimana, Yang?"

"Ya, nggak papa sih. Terserah kamu. Jalan-jalan 'kan ga mesti berenang juga nanti di sana. Lihat kondisi."

"Iya, deh. Lagian ada kamu, Yang. Kita pasti aman," kata Hera yang kusambut dengan kuluman senyum. Aku sempat melirik Kai, yang wajahnya datar, tal mengacuhkan ucapan Hera.

Mau tidak mau, sebagai tuan rumah yang baik, Kai ikut serta menemani. Kupikir Kai tidak akan mau ikut, tetapi rupanya ia menyetujui usul Hera. Dua gadis itu sejak sepulang dari gereja sudah sibuk memasak bekal. Mereka memasak bihun goreng dengan kol dan caisin. Aku tak berani mendekat. Rasanya canggung sekali bila berada di tengah mereka. Akhirnya aku duduk di ruang tengah, berusaha fokus dengan buku diktatku. 

"Sangka, sudah siap nih!" Hera menunjukkan rantang dipinjam Kai dari teman puskesmas.

Aku hanya tersenyum simpul, memandang sejenak rantang tiga susun itu dan beralih ke arah Kai yang lewat dengan cueknya. Dadaku berdesir. Kai sungguh menjauhiku. Ia bahkan membuang muka dan enggan bicara denganku.

"Aku siap-siap dulu, ya, Yang?" Aku mengangguk canggung. 

Dalam hati, aku merasa sebagai lelaki jahat. Tawa renyah dan kata manja Hera itu benar tulus menyayangiku, tapi aku tak bisa membalasnya. Aku merasa tak enak dengam Hera karena menyadari perasaanku yang mulai goyah.

Aku selalu teringat kata Mami dalam setiap percakapan telepon. Hera adalah calon menantu ideal. Mami tidak ingin aku terlalu sering berpetualang dari hati ke hati para gadis itu. Setidaknya, beliau ingin aku berkomitmen di usia hampir 26 tahun ini.

Komitmen itu yang susah aku pegang karena aku belum menemukan orang yang tepat. Betul kata Kai, aku gampang jatuh cinta dan kagum. Tapi benih cinta dengan mudah terhempas angin berpindah di hati lain. Namun, kali ini aku merasa benih cinta itu sudah jatuh di karang hati Kai. 

Di saat aku memikirkan Kai, Hera–lah yang tertangkap netraku. Gadis itu sudah memakai topi, celana pendek setengah paha, sneakers dan tas punggung.

"Hera, kamu kenapa pakai celana sependek itu? Di sini bukan mall. Kurang enak dilihat orang-orang," kataku seperti orang tua kolot. Padahal dulu aku selalu menyukai penampilan Hera saat memakai baju minim dan ketat. Tubuh Hera yang langsing sungguh nyaman kupandangi.

"Aku hanya membawa ini. Tidak apa-apa sekali ini." Hera sibuk menenteng rantang. "Lagian biasanya kamu suka aku pakai baju ini. Mulus gitu 'kan katamu?"

Saat bersamaan, Kai keluar dari kamar. Ia mengenakan celana pendek selutut, lebih sopan dari yang dikenakan Hera. Rambut sebahunya dikucir ekor kuda. Riasan tipis sedari pagi masih tergambar jelas di wajah.

Lagi-lagi Kai berpaling dariku, saat kami bersirobok. Aku berdeham, menetralisir desir nyeri di dadaku. "Ayo, Kai."

"Iya. Ayo, Bunga!" seru Kai pada Bunga. 

Bunga keluar dengan baju kaus yang katanya merupakan oleh-oleh dari Kai saat pulang ke Jawa. Gadis kecil itu juga tampak manis dengan balutan celana pendek dan sandal jepit. 

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang