🏡7. Tiba Meka🏡

638 136 28
                                    

Menyajikan sebuah telur dadar ternyata perlu perjuangan dan pengorbanan. Bagaimana tidak kalau dari menghidupkan kompor saja aku harus belajar? Aku benar-benar seperti balita yang melakukan semua hal untuk pertama kali.

Lebih parahnya, hanya menuangkan kocokan telur dadar ke dalam wajan saja aku tak bisa melakukan dengan benar. Aku meringis saat tanganku terkena pinggiran wajan. Untung wadah plastik itu tidak aku lempar, mengingat bahan makanan di tempat kami terbatas.

Baiklah, itu baru menuang. Belum membalik telur. Bunga terkekeh saat aku berdecak kesal melihat telurku ambyar, seambyar hatiku saat hidupku selalu gagal. Alih-alih menjadi omlete, aku lebih cocok memasak orak arik telur.

"Om, sisi dalamnya belum kering. Makanya ambyar." Bunga menelaah apa yang terjadi.

Sontak wajahku memerah. Aku hanya bisa  menggaruk tengkuk dengan tangan kirinya yang tidak memegang sutil. Bahkan anak kecil saja tahu kenapa telurku ambyar.

"Om sengaja masak orak arik telur untuk sarapan pagi ini kita." Aku beralasan dan memberi cengiran saat mengangkat telur orak arik berwarna kuning. Sementara itu, Bunga hanya terkikik saja kala mendengar jawabanku.

Setelah mandi dan bersiap, Kai serta Bunga sudah menunggu di meja makan. Gadis bermata kucing itu masih memberengut wajahnya. 

Tunggu! Sejak kapan dia mempunyai wajah yang enak dilihat? Sejak kemarin aku mengenalnya, wajah manis itu selalu kusut, seperti kertas yang diremas-remas.

Aku hanya diam saja ikut duduk mengelilingi meja. Namun, tidak ada yang bergerak mengambil nasi yang masih mengepulkan asap itu.

"Ayo, makan!" kataku.

Kai melirikku, tak berucap. Dia lalu mengambil nasi, kemudian telur dan sambal kecap. Sesudah itu aku memberi isyarat Bunga untuk mengambil nasi dan telur orak-arik.

"Habis kan saja, Bung." Bunga mendongak, heran. "Om nggak makan telur ayam negeri. Om cuma bisa makan telur ayam kampung."

Baiklah. Aku yakin Kai bakalan melancarkan julidannya dan menganggap aku lelaki manja. Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang tidak bisa memakan telur ayam negeri karena akan bisulan. 

"Nanti biar aku pesankan ke Om Frans di kampung Tentang untuk kirim telur ayam kampung tiap minggu," ucap Kai seraya menyendok nasi yang dicampur orak arik telur serta sambal kecap. 

Aku mengerjap karena Kai tak menyemburkan kata pedas. Terlebih dia tidak bertanya apapun padaku setelah mengetahui kenyataan bahwa aku alergi mengkonsumsi telur ayam negeri.

"Hah, susah ya, tinggal sama cowok manja," tambah Kai setelah menjeda ucapannya.

Nah, kan! Apa yang aku duga terjadi! Seraphim Kartika tetaplah gadis manis serupa iblis. 

"Sori, jadi ngerepotin," kataku sambil mengambil nasi. 

Aku meneteskan sambal kecap di atas nasiku. Baru kali ini aku makan dengan nasi kecap. Hati ini rasanya getir, segetir lidahku mengecap rasa manis pedas.

"Kamu beneran nggak makan telur, Sang?" Kai melirik ke arahku serambi mengunyah makanannya.

Aku pun hanya menggeleng menanggapi jawaban gadis itu.

Kai menjuruskan tatapan kepadaku dan akhirnya mendapati garis kemerahan yang sudah menjadi lepuh di lenganku. Matanya memerah dan berkaca. Aku yakin dia pasti terenyuh dengan pengorbananku.

"Nggak usah baper gara-gara telur orak-arik. Biasa aja," kataku dengan nada datar, meniru ucapan Kai.

"Sapa yang baper. Kamu bikin sambelnya pedes banget, Sang!" Kai mendengkus, lalu meraih gelas yang sudah terisi air.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang