24. Keputusan Sangka

572 110 50
                                    

Aku melompat ke dalam sungai, membenamkan badanku untuk menyelam. Kepalaku menoleh ke kanan kiri, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru dasar sungai. Namun, tak kudapati Kai ada di situ.

Kepalaku menyembul di atas air, mencari udara untuk mengisi paru-paruku. Teriakan Hera memanggil membuat aku menoleh seraya mengusap wajah basahku.

"Sangka, ini Kai!" Hera menunjuk Kai yang membawa selembar daun pisang.

Wajah kusutku sontak terurai. Mendung itu bergulung berganti cerah. Aku berenang ke tepian, dan segera naik ke daratan. Berlari cepat, aku memeluk Kai dengan erat tanpa aku sadari bahwa Hera hanya bisa melongo melihat pacarnya memeluk gadis lain.

"Lepas, Sangka! Apaan sih! Ada Hera!"

Mendengar nama Hera disebut, nalarku kembali memijak bumi. Aku mengurai pelukan, berusaha menguasai keadaan yang canggung. Aku memberikan cengiran aneh, menutupi tindakanku yang ceroboh. Dengan kepalan tangan menutupi mulut, aku berdeham.

"Kalau kamu kenapa-napa, aku pasti yang akan disalahkan." Aku mencari alibi. "Kamu dari mana?" tanyaku.

"Aku mengambil daun pisang untuk alas makan kita," jawab Kai datar. Wajahnya tampak tak nyaman dengan gerak gerik yang kikuk.

Aku menggigit bibir, merutuk dalam hati kecerobohanku. Sungguh kekalutan membuat nalarku menguap. Bisa-bisanya aku memeluk Kai di hadapan Hera! Sangka, kamu benar-benar cari mati!

Hera belum bisa menghapus keterkejutan dari wajahnya. Matanya yang memerah memperlihatkan bahwa dia pasti shock dan bertambah sedih mendapati kenyataan pacarnya memikirkan gadis lain. Kupikir Hera akan memaki Kai. Namun, itu tak terjadi. Yang ada justru membuat kudukku merinding karena Hera tak seperti biasanya.

Tatapan mata Hera walau sendu, tapi menusuk hati. Ia tak banyak bicara. Hanya membantu Kai menggelar daun pisang dan membersihkan dengan tisu yang dibasahi air sungai. Semua makanan dibagi di atas lembaran daun pisang dan kami duduk bersila mengelilingi daun. Aku duduk di sebelah Bunga, sedang Hera di depanku bersama Kai. Tak banyak perbicaraan. Hanya suara desir angin dan kecipak air yang mengalir menemani makan siang kali ini.

Sesekali aku melirik Hera yang makan dengan tenang. Bergulir ke kanan, aku mengerling ke arah Kai, seolah memalingkan pandang tak ingin melihatku.

"Kok sepi?" tanya Bunga yang tak mengerti yang terjadi.

Aku meneguk air dari botol, membasahi tenggorokanku yang terasa tercekik, susah mengeluarkan suara. "Ehm, pada capek berenang." Itu jawaban terbaikku.

"Aku habis ini mau pulang, Kak."

Telingaku rasa panas. Lidahku kelu mendengar Hera memanggilku "Kak". Ia pasti benar-benar marah, tapi berusaha mengendalikan.

"Iya, nanti aku antar." Dadaku berdesir nyeri.

"Tidak usah. Aku telepon ojek kemarin saja supaya jemput," tolak Hera, membuat aku semakin tak nyaman. Suara bernada biasa itu seperti mencekikku, hingga aku tak bisa bernapas. Berada di antara Hera dan Kai, sungguh bukan pilihan yang tepat. Suatu keadaan yang tak bagus untuk kesehatan jantung.

"Iya, Hera. Lebih baik kamu diantar Sangka. Takutnya nanti jemputnya kemalaman," kata Kai.

Mata Hera semakin merah. Suaranya serak saat menjawab persetujuan. Kembali kami membisu. Rasa laparku raib begitu saja, karena dikenyangkan oleh kecanggungan dan rasa bersalah pada Hera.

"Hera, jangan marah sama Sangka. Dia segitu baik sama teman, apa lagi sama pacarnya." Kai menambahi.

Makanan yang aku telan itu tertelan spontan ke lambungku. Aku mengambil botol lagi, menenggak air untuk menggelontorkan rasa perih akibat ucapan Kai yang merupakan kenyataan. Aku menepuk dadaku berulang sambil menatap Kai yang juga memandangku.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang