20. Rahasia Kai

574 125 65
                                    

Aku masuk ke dalam kamar mandi dengan dengkusan kasar yang menggaung di seluruh ruang. Bagaimana bisa Kai menghakimi aku bahkan mengungkit kembali kegagalanku? Apa dia tidak pernah gagal dan hampir putus asa karena tidak bisa mengejar cita-citanya?

Masih berdiri termangu, aku mengembuskan napas kasar. Aku lupa kalau Kai harus meletakkan keinginan sekolah karena harus membiayai mamanya yang sedang sakit. Tiba-tiba wajahku terasa panas. Aku merasa pipiku memerah karena meledak-ledak seperti ini saat diingatkan kegagalanku. Sekali lagi aku malu. Hanya karena gagal, aku melarikan diri. Bukannya berjuang untuk mendapatkan kembali.

Aku memilih menyudahi pikiranku sendiri, dan segera mandi untuk menyegarkan pikiran. Sekali lagi ucapan Kai terbukti bahwa aku benar-benar tidak memperhatikan hal kecil. Seperti sekarang ini. Seharusnya kalau aku ingin mandi, aku membawa handuk. Namun, karena menuruti emosi sesaat, handuk itu aku ingat masih menggantung di gudang. Dan, lagi aku tidak membawa baju ganti, sementara aku sudah membasuh tubuhku.

Aku tidak mungkin memakai kembali baju yang sudah tertempel debu jalanan sepanjang Labuan Bajo dan Tentang serta keringatku. Mau tidak mau aku membuka pintu dan berseru pada Kai yang membuat otakku memutar kembali ingatan "Insiden Dian". Ah, hobi sekali isi kepalaku mengingat tragedi memalukan itu.

Aku menghela napas panjang sebelum menyebut nama Kai. "Kai ...," ujarku lirih. "Kai ...."

Dari balik pintu kepalaku melongok, melihat Kai yang kini menoleh melihatku dengan mata kucingnya yang galak seperti kucing yang habis beranak. Bila mata kucing itu menyipit, kudukku terasa meremang seolah Kai akan menancapkan cakar tajamnya. Menggelengkan kepala menepis imajinasi anehku, aku pun memberikan cengiran lebar.

"Kai yang baik hati dan tidak sombong. Suka membantu orang tua dan rajin menabung ... bisa tidak ambilkan handukku?"

Mata itu semakin menyipit, dan kali ini dengan geraman yang justru menyerupai geraman anjing yang kelaparan. Aku masih menarik bibirku hingga otot pipiku terasa pegal, menunggu jawaban Kai.

"Kai ...?" Mataku sudah tinggal segaris saat tarikan bibir membuat pipiku semakin menggelembung.

Kai terdengar mendengkus. Sepertinya ia hendak menumis, sehingga akhirnya ia menumpangkan ceret untuk mengisi kompor yang sudah menyala daripada harus mematikan kompor minyak. Dengan langkah yang diseret, Kai berjalan ke gudang. Tak lama ia sudah ada di depan kamar mandi, menyodorkan handuk.

"Makasi ya, Kai," ujarku dengan senyuman yang paling manis, sementara kepalaku masih terlihat menyembul di balik daun pintu untuk menyembunyikan badanku yang atletis.

"Merepotkan aja sih! Jangan bilang kamu keluar, dengan pamer perut roti sobek!"

"Hehehehe." Pelan-pelan kututup pintu kamar sambil mendesah panjang.

Aku menyemburkan udara kasar dari mulut. Tak percaya aku bisa setegang itu menghadapi Kai yang kini aura Iblis–nya kembali menyala-nyala. Siapa yang bakal tahan dengan sifatnya yang satu ini? Lebih baik aku keluar dari kamar mandi diam-diam dari pada membuatnya naik pitam karena tak mengindahkan aturan di rumah ini.

Kami akhirnya makan malam dalam keheningan. Semur babi itu sebenarnya nikmat tapi aku tidak bisa merasakannya karena pikiranku tertuju pada Kai. Sesekali aku melirik Kai yang makan dengan tenang, tak mengacuhkan aku.

Suara denting sendok dan garpu, dan suara kunyahan menghaluskan makanan di dalam mulut kami beradu. Aku mempercepatkan makanku. Padahal sebenarnya perutku masih berontak ingin diisi lagi, apalagi semur bola-bola daging babi itu seperti memanggil ingin membelai lambungku.

Namun, kutahan rasa serakahku ingin mengunyah, memilih untuk memulai percakapan.

"Kai," panggilku hati-hati. Yang dipanggil hanya mengerling dari sudut matanya, dan justru membuat jantungku menggila seperti derap kuda liar Sumbawa.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang