32. Mengejar Cita-cita

353 83 21
                                    

Tak terasa sudah enam purnama berlalu dan selama ini aku sama sekali tidak pernah mendapat kabar dari Kai. Bahkan teman-teman yang lain pun tak mendengar kabar tentangnya. Kata seorang teman yang seangkatan PTT dengan Kai, ada atau tidak ada gadis itu, sama saja. 

Tapi, beda denganku. Tanpa Seraphim Kartika, hatiku hampa ...

Absennya Kai di sini, membuat rumah terasa hening. Tak ada lengkingan suara gadis bermata kucing itu yang menegurku. Inilah masa kedamaian yang pernah aku idamkan. Tapi kenapa semua terasa hampa? Padahal hanya dua bulan lebih aku bersama Kai, tapi pengaruh dalam hidupku luar biasa. 

Kai seumpama ibu peri bagiku. Alih-alih memberikan semua permintaan, Kai mengajarkan bagaimana berusaha memperoleh apa yang aku butuhkan. Kai juga memberi tahu agar aku setia pada perkara kecil, untuk menyiapkan diri sebelum Tuhan memberi tanggung jawab besar.

Ah, apakah dia sudah bahagia dengan suaminya? Mengingat hal itu, dadaku terasa nyeri.  

Tidak ingin bermalas-malasan, aku melalui hariku dengan belajar giat. Mungkin aku bisa mencoba pendidikan spesialis yang sempat menjadi momok untukku. Selama beberapa bulan di sini, justru kasus obsgyn seolah menjadi tantangan tersendiri. Aku menjadi haus ilmu setiap kali menyelesaikan kasus yang mudah maupun susah sehingga aku harus melakukan pengalihan pasien ke rumah sakit. Setidaknya semua keputusanku, tidak menambah daftar panjang kematian ibu dan bayi di puskesmas, seperti yang pernah terjadi.

Saat aku sibuk membaca buku diktat yang setebal bantal, gawaiku berdering. Bimbim yang jarang menelepon karena pelit pulsa, tiba-tiba menghubungi.

"Tumben telepon, Bim? Ada apa?" tanyaku begitu menempelkan HP di daun telinga.

"Sang, kamu jadi mau ambil obgyn?" tanya Bimbim, sahabat baikku sedari kuliah.

"Ehm, belum tahu. Mau nyoba aja."

"Kalau jadi, di UNS udah dibuka tuh pendaftaran PPDS semester ganjil. "

"UNS?" Aku bergumam. Aku tahu salah satu universitas negeri di kota Solo itu. Tapi aku tidak pernah berpikir mencoba mendaftar ke sana. 

Aku menggigit bibir sambil mengelus dagu yang selalu licin. Aku teringat Kai berasal dari Solo. 

Aku mendesah. "Gimana? Aku mau nyoba ambil Bedah di sana. Ini aku mau urus rekomendasi untuk ikut PPDS BK angkatan yang Januari ini."

"PPDS BK artinya kamu balik sini lagi, Bim?"

"Iya. Demi bisa sekolah. Mana bisa anak proletar kaya aku sekolah spesialis kalau nggak mengandalkan beasiswa. Kamu sih dari kalangan kaum borjuis, mana tahu perjuangan kami."

Aku memberikan cengiran aneh. Masih basah di ingatanku perjuangan Bimbim menempuh pendidikan Kedokteran. Dengan motor brondolnya dia harus mengantar telur asin ke kios-kios sebelum berangkat kuliah. Bahkan saat coass, lelaki itu menjajakan produk buatan ibunya ke rumah sakit. Karena rasanya yang enak, pihak koperasi mengambil dalam partai besar setiap minggu. Kantin mahasiswa di kampus A, B dan C semua pasti ada telur bebek buatan ibu Bimbim.

Sungguh, Bimbim anak yang tegar. Dia teman yang baik. Semua informasi selalu diberitahukan kepadaku, termasuk PTT ini. Kalau dipikir-pikir, Bimbim berjasa karena mempertemukanku dengan Kai. 

"Kalau mau, nanti kita bisa daftar bareng, Sang. Mayan 'kan bisa nebeng hotel sama kamu."

Seketika aku tertawa ngakak. Bimbim tidak berubah. Mau masih meminta uang orang tua sampai penghasilannya kini sebulan sepuluh juta, tetap saja irit. Kalau bisa gratis atau diskon, kenapa nggak? Seperti kemarin dia mengajakku ke Labuan Bajo supaya bisa ada yang traktir selama di Kupang. Tapi, aku tidak pernah keberatan. Bimbim teman yang loyal, sedang aku teman yang royal. Cocoklah kami! Walau begitu, dia bicara terus terang di awal, sehingga aku tidak merasa dimanfaatkan. Toh, dia selalu memberikan stok telur asin terbaik setiap minggu yang selalu dinanti Mami.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang