13. Mencari Adi Ari-Ari

582 128 68
                                    

Spesial thanks buat adek othor yang cantek, baek hati dan tidak sombong. Othor dreame yang pemes lianaadrawi. Part ini tersaji berkat bantuanmu.

💕Sangka-Kai💕

Air mengalir dari kran bergemericik membasahi telapak tangan hingga bagian sikutku. Hanya debu yang terbasuh bukan cemasku. Walau diburu waktu, tetap saja aku harus melakukan langkah cuci tangan yang baik dan benar. Ini protokol kesehatan demi kebersihan diri serta perlindungan dari penularan penyakit. Seorang bidan muda bernama Leni mengganti hand towel yang basah dengan yang baru agar aku lebih nyaman untuk mengeringkan tangan.

Tak dipungkiri tanganku bergetar karena tegang, kelaparan dan kehausan. Tak ada waktu untuk semua itu. Melihat perempuan muda yang sudah memutih wajahnya seperti kuntilanak karena banyak anak rambut yang terlepas dari kucirannya, aku harus berpacu dengan waktu memberikan tindakan.

Aku mengelap, mengeringkan tanganku sambil bertanya terapi apa yang sudah diberikan. Mendengar dengan saksama, otakku yang sama dehidrasinya dengan pasien yang lemas itu berputar, mencerna informasi.

"Sudah saya injeksi oksitosin dua ampul, Dok. Satu melalui IM dan satu lagi saya campur di infus, seperti instruksi dokter. Karena sudah hampir hampir 30 menit, plasenta tidak keluar, saya baru mau coba lakukan tindakan manual, sambil menunggu Dokter." Bu Maya melirik ke pasiennya. Memberi bahasa lain untuk perdarahan agar pasien tak cemas. "Saya cemas karena bleeding."

Aku mengangguk, dengan bibir mengerucut seolah bibirku ingin ikut membantu mengumpulkan semua materi ilmu obstetri dan ginekologi di kepala. Aku hanya bisa mengatur napas agar berpikir jernih dan merasa tenang. Sebagai dokter, jika aku panik, hal ini bisa saja membahayakan keadaan pasien.

"Guyur RL dua jalur ya. Tambahkan dua ampul oksitosin lagi di larutan RL untuk berjaga-jaga nanti tidak terjadi kontraksi pada uteri pasca manual plasenta. Berikan 60 tetes per menit." Tanganku sibuk memasang dua handscoon steril panjang berukuran 8. Sedikit ketat di jariku yang panjang, tapi setidaknya tanganku sudah terlindung.

Sambil meregangkan kaki, aku menurunkan tubuhku agar Leni bisa membantuku memasang masker dan apron plastik. Setidaknya bajuku akan terlindung tak kena cipratan darah.

Aku sudah siap dengan alat perlindungan diri seadanya. Leni beralih membantu Bu Maya yang sudah mengeluarkan abocath, dan botol infus. Sementara manik mataku masih memperhatikan aktivitas dua bidan yang bekerja, aku mengajak mengobrol pasiennya.

"Nu, ce ngasang dite (Mbak, siapa namanya)?"

"Vi, Dok." Pasien itu terkikik dengan lemah, mendengar logat anehku. "Nganceng bahasa Manggarai ko, Dok (Bisa bahasa Manggarai kah, Dok)?"

Aku meringis hingga pipiku menggelembung menghilangkan mata sipitku. "Cekoe-cekoe (Sedikit-sedikit)."

Kembali kekehan terdengar. "Eme (Kalau) dokternya reba (ganteng) begini, pasiennya banyak, Dok. Langsung sembuh, toe (tidak) rasa betin (sakit)."

Aku hanya menangkap kata reba, toe beti. Kuartikan dia senang dokternya ganteng. Aku terbahak menanggapi godaannya. "Wah, sayang kamu sudah duluan menikah. Saya masih bujang loh." Aku mengangkat-angkat alis.

Suara dehaman terdengar keras di sela enggahan. Aku melonjak melihat Kai yang bersimbah keringat. Mataku berbinar mendapati iblis itu ternyata setia kawan. Tidak bersenang-senang sendiri.

"Masih ... sempet ... centil ... juga ... Pak Dokter?" sapa Kai dengan napas tersengal.

Cengiran lebarku menyambut kedatangan Kai. Aku yakin dia pasti berlari sama ngebutnya denganku.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang