33. Menemui Kai

397 78 14
                                    

Sebenarnya, bisa saja penyerahan dokumen dilaksanakan setelah masa baktiku selesai. Namun, Bimbim ingin menyerahkan dokumen lebih awal pada hari pertama sesuai jadwal di leaflet. Ia memang anak yang disiplin dan selalu tepat waktu. Sejak awal ia tak pernah terlambat mengumpulkan tugas. Hanya saja dia sempat terganjal urusan biaya sekolah yang membuat ia molor satu semester.

Bagi, Bimbim, kalau semua urusan bisa dilakukan di awal kenapa harus diselesaikan di akhir? Kami sempat berdebat panjang soal keberangkatan penyerahan berkas, karena menurutku bisa sekalian dengan seleksi tahap pertama. Namun, Bimbim mengatakan, ia khawatir kalau misal nanti ada hambatan. Kalau berangkat awal, ia akan mempunyai cukup waktu untuk memberesi berkas bila ada yang kurang.

Mau tidak mau aku menurut, walau aku rugi di ongkos pesawat, karena awal April besok masa baktiku selesai dan aku harus pulang. Sedang Bimbim memilih memperpanjang kontrak sembari menunggu hasil seleksi.

Pagi itu, kami sudah ada di kompleks UNS untuk menyerahkan berkas. Begitu memasuki kampus ini aku terpukau karena kampus ini begitu luas. Selain itu, di kanan kiri ditumbuhi pepohonan sehingga membuat rindang jalanan.

Gedung sekretariat SPMB menjadi tempat yang aku dan Bimbim tuju. Ternyata, dugaan Bimbim benar. Hari pertama ini sudah banyak para dokter yang mengumpulkan berkas pendaftaran online. Tak ingin membuang waktu, kami pun segera memasuki ruangan dan menyerahkan berkas sesuai persyaratan.

Beruntung syarat-syarat kami tak ada yang kurang sehingga aku bisa bernapas lega.

"Sang, kamu nggak mau mampir ke tempat Kai?" tanya Bimbim begitu kami keluar dari tempat penyerahan berkas.

Aku hanya membisu sambil mengedarkan pandang ke seluruh penjuru gedung yang masih asing. Dalam hati aku bertanya, apakah kota ini akan menjadi jodohku?

"Kamu ini, ya, Sang! Temen baikmu ini udah mikirin gimana kalian bersatu, eh kamu nggak mau berjuang! Kalau Kai direbut orang, jangan nyesel!" ujar Bimbim ketus mendapati diamku. Wajah gelapnya kini memerah karena kesal dengan sikapku yang terlihat cuek.

Mendengar kata Bimbim, aku menatapnya nyalang. Mata sipitku melebar, menatap lurus ke arah lelaki yang tingginya sama denganku. "Dia bilang, jangan saling memberi harapan. Tapi kenapa aku masih berharap? Aku selama ini nggak menelepon dia sejak dia nggak bisa aku hubungin, karena takut patah hati," kataku sendu.

"Itu hanya alasan kamu, seperti dulu kamu suka melarikan diri! Kamu sekarang pun melarikan diri karena takut menghadapi kenyataan Kai menikah dengan orang lain? Kabar itu kan enam bulan lalu." sanggah Bimbim dengan wajah tak kalah berang. "Aku memang bukan playboy seperti kamu, Sang. Aku bahkan selalu patah hati karena nggak ada cewek yang suka sama aku! Tapi melihat kamu yang suka obral kata cinta sama cewek-cewek tiba-tiba, terus beberapa bulan ini terpuruk karena kepergian Kai, aku sebagai sahabat ikut sedih."

Aku hanya mengepalkan tangan dengan erat hingga buku jariku memutih. "Ya, aku pengecut! Aku memang pengecut! Sangka memang sering minta diputus cewek. Tapi aku nggak pernah kehilangan! Hanya Kai yang membuatku seperti ini!" desisku hingga urat leher menonjol.

Sesaat hening. Aku memalingkan wajah dari Bimbim. Hanya riuh lalu lalang para peserta yang ingin menyerahkan berkas yang mengisi kekosongan antara kami.

"Jangan sampai menyesal, Sang! Kali ini jangan lari! Hadapi apapun kenyataannya. Kalau emang dia udah nikah, ya udah ucapin selamat. Seenggaknya tunjukin kalau kamu memperjuangkannya." Suara Bimbim melunak, berusaha mengimbangi emosiku yang gampang tersentil.

Aku menghela napas, berusaha menahan gejolak. "Ayo, duduk!" ajakku sambil mencolek lengan Bimbim. Selama ini aku memendam sendiri, semuanya. Mungkin aku harus bercakap dengan sahabat baikku ini.

"Aku beneran takut dia nikah sama cowok lain. Waktu aku ngajak dia nikah, dia nggak mau." Aku menyandarkan punggung dengan kasar hingga derik suara kursi logam berbunyi nyaring. Tatapanku memandang lurus para mahasiswa yang lalu lalang di area kampus yang rindang. Kampus ini begitu sejuk dan menenangkan.

"Ya, mungkin dia merasa buat apa nikah sama cowok lemah dan manja. Makanya sewaktu Kai nggak bisa dihubungin, aku berusaha memilih untuk menempa kepribadian dan mengasah ketrampilan sembari menyiapkan hati bertemu Kai lagi. Baik ia sudah menikah, sudah punya pacar atau masih menjomlo. Tapi sekarang aku ngerasa belum matang buat ketemu Kai," lanjutku.

Bimbim mendengkus. "Beda, ya, cowok ganteng sama kami yang standard. Tapi, Sang, menurutku, tak hanya cita-cita yang harus diperjuangkan, tapi cinta pun juga."

"Justru aku salut sama kamu Bim, berkali-kali ditolak kamu tetap enjoy aja. Aku sekali ditolak langsung down," jawabku dengan senyum miris.

Bimbim menepuk pundakku dengan keras. Namun, tepukannya justru menyadarkan bahwa aksi diamku salah. Betul kata Bimbim, 'Tak hanya mengejar cita-cita, tapi aku juga harus berusaha sekuat tenaga untuk menggenggam cinta'.

"Kai, dia mungkin menunggumu, tapi tak berani berharap karena tahu sendiri kamu masih sama Hera. Lagian sifatmu yang pencinta wanita itu pasti kan bikin Kai mikir. "

Aku terkekeh, mendengar kata-kata Bimbim.
"Sok tahu kamu, Bim!" komentarku.

"Sebenarnya aku nggak sengaja tahu. Aku juga diceritain sama Olla pas Kai mau pulang itu. Kemarin waktu ... ehm ... habis nembak." Pipi Bimbim merona. Ia tersenyum simpul sambil memijat tengkuk.

"Nembak Olla? Kamu suka sama Olla?" Aku terperangah. Ke mana saja aku selama ini sehingga hanya berkutat dengan kekecewaanku? Bahkan aku tak tahu Bimbim menyukai Olla.

"Iyalah! Gemes gitu sama pipi chubbynya." Bimbim terkekeh.

"Diterima gitu?" tanyaku penasaran disambut anggukan Bimbim canggung. Aku ikut tertawa puas. Tak menyangka temanku melepas status jomlo legendnya.

"Udah, gih! Sana temui Kai!" saran Bimbim. "Masa kalah sama aku."

Aku pun bangkit, seperti tak mau kalah. Apapun status Kai saat itu aku harus menemuinya. "Makasi, ya, Bim. Doain aku!"

Aku pun berlari dengan ransel yang menggantung di punggung. Tak memedulikan jarak yang cukup jauh ke gerbang depan kampus, aku terus saja melangkahkan kaki lebar menyusuri jalan yang dinaungi pepohonan. Senyumku terurai saat mendengar satu kalimat dari mulut Bimbim bahwa Kai menyukaiku. Itu artinya kekhawatiran dia akan menikah tidak terjadi.

Aku terengah tiba di depan jalan raya Solo-Palur. Aku mengusap sejenak peluh dan menata napas. Kuedarkan pandang mencari taksi biru untuk membawaku ke rumah Kai.

Beruntung taksi segera kudapatkan dan sejurus kemudian aku sudah ada di daam mobil. Jantungku terdentum keras, membayangkan mata kucing Kai membelalak saat melihatku. Aku menggigit bibir dan dudukku tak tenang karena pahaku berayun ke kanan kiri meredam rasa grogi. Aku betul-betul seperti ABG yang sedang kasmaran, hingga tak terasa taksi sudah berada di depan rumah berpagar hitam.

Buru-buru aku membayar ongkos sesuai dengan harga yang tertera di argo. Begitu keluar dari mobil aku mengulirkan pandang ke sekitarnya. Rumah itu terlihat kuno, dengan banyak pepohonan di dalam halaman. Pekarangannya juga tak terlalu luas. Mungkin cukup untuk parkir dua mobil saja.

Masih dengan degupan yang tak bisa aku kontrol, kakiku menapak memasuki halaman yang pagarnya sedikit terbuka. Namun, saat yang sama aku terkejut karena melihat Kai menggendong bayi mungil dengan rambut yang dicepol dan daster di teras.

Sontak tenggorokanku kering. Asa yang melambung kini terhempas ke bumi. Tubuhku terasa beku dan kaki seperti terpancang erat di tanah sekuat tenaga aku ingin mundur.

Kai ... dan bayi?

💕Dee_ane💕

💕Dee_ane💕

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang