29. Terpuruk

500 122 23
                                    

Roda mobil telah berputar menggilas bebatuan di jalan aspal yang telah rusak. Badanku bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan peluh yang menetes di dahi. Lambungku bergolak seiring mobil yang mengguncang tubuhku dengan kasar.

Ya Tuhan, semoga … semoga aku kuat. Aku mencengkeram paha, berusaha untuk menahan gejolak lambung. Aku menghirup napas dalam-dalam, berharap udara bisa menetralkan rasa mual. 

Nyatanya, semua sia-sia. Rasa ingin muntah sudah merambat ke kerongkongan dan siap meluncur ke luar. Pipiku kini menggelembung, dengan bibir mengerucut, seolah kran yang hendak dikunci kuat-kuat agar alirannya tidak menyembur. Keringat pun semakin deras. Wajahku yang pucat memerah karena aku kini berusaha napas.

Kucoba pejamkan mata.Tetap saja rasa mual itu tetap ada. Sementara itu, aku hampir melupakan pasien yang ada di belakang.

Bagaimana ini? Cairan lambungku sepertinya sudah penuh di mulut. 

Aku lalu menepuk Om Sopir yang belum aku tahu namanya. Saat dia menoleh, aku memberi isyarat kalau aku ingin muntah.

“Ya, Dok?”

Malah bertanya lagi? Ini udah mau muntah. 

“Dokter mau bilang apa?” Om Sopir menoleh ke arahku sebentar dan kembali meluruskan pandangan. 

Jalanan kini mulai menanjak. Karena tak kuat, aku lalu membuka kaca jendela dan menjulurkan badanku untuk memuntahkan cairan lambung. Suara mulut yang mengeluarkan cairan terdengar memilukan. Apalagi perutku terus saja mendesak agar lambungku mengeluarkan semua isi. Padahal aku belum makan sama sekali sejak tadi siang, dan kini waktu sudah menunjukkan pukul 00.35 WIB.

Mungkin karena tahu aku muntah, Om Sopir menghentikan laju mobil. "Om, lan … jut saja! Udah … keluar ini." 

Om Sopir menurut dan terus menekan gas dan kopling pada gigi rendah. Sementara itu aku masih meyakinkan lambungku tak bergolak lagi.

Keringat dingin yang dibelai angin tengah malam perbukitan Flores membuatku menggigil. Apalagi suasana di sekitar kami sangat gelap tanpa pencahayaan. Hanya kunang-kunang yang menyinari malam, serta suara jangkrik dan burung hantu memeriahkan kelam.

"Dok, Dokter! Istri saya kejang lagi!"

Mampus! Kenapa tiba-tiba kejang lagi?

"Om, tolong menepi dulu!"

Mobil sudah bergoncang ke kanan dan ke kiri karena gerakan Bu Sia yang tak terkendali. Suaminya kewalahan mengendalikan gerakannya.

Aku lalu membuka pintu dan meloncat turun. Stetoskop yang sudah terkalung di leher hampir saja jatuh. Begitu membuka pintu belakang, Bu Sia  menendangku.

"Dok, bagaimana ini?" Suaminya sangat panik.

Aku tak bisa menjawab. Selain belum memeriksa kondisinya, aku juga harus menyembunyikan kepanikan. 

Aku menghela napas. Walau terkesan tenang, jantungku sebenarnya bergemuruh hingga dadaku kembang kempis. 

Sebelum melakukan evaluasi, aku memeriksa infus terlebih dahulu. 

Macet! Obat tidak bisa masuk! Aku berdecak dalam hati. Terang saja infus macet karena pasien bergerak tak terkendali. Selain itu suami Bu Sia tidak mengangkat botol infus dan justru meletakkannya.

"Pak, tolong angkat botol infusnya."

Aku berusaha mengurai kemacetan infus dengan melilit selang berharap alirannya lancar. 

Bu Sia berteriak kencang, memecah kesunyian malam di tempat yang aku sendiri tidak tahu di mana.

"Agak nyeri ya, Bu." 

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang