21. Kai Yang Rapuh

535 125 61
                                    

Mataku berkilat cerah secerah langit biru yang menaungi bumi. Burung-burung berkicau seolah mengutarakan rasa gembiraku. Asaku terbuka seiring dengan rahangku yang menganga lebar tertarik gravitasi.

Kai jomlo? Kai jomlo? Gerakan bibirku tak bersuara mengurai rasa terkejutku. Aku menggigit bibir bawahku, meredam rasa takjub dan penasaran. Tak dipungkiri aku ingin menarik kedua sudut bibirku mendapati rahasia Kai.

"Ma, Kai sudah lama ga kontak dengan Mas Nico." Kai terdengar mengembuskan napas keras. "Yang penting Mama sehat dan mengikuti terapi dengan baik. Jangan khawatirkan untuk biayanya. Kai dan Mas Lintang masih bisa membiayai terapi Mama."

Tak ada suara Kai dari dalam ruangan, yang terdengar hanya ketukan keempat jari Kai bergantian di atas permukaan meja kayu. Desahan panjang juga terdengar di sela percakapan telepon Kai dengan mamanya. Sungguh, rasa penasaranku membuncah, terlebih aku melihat sekilas ekspresi Kai yang kehilangan sorot bercahayanya.

Namun, kesenangan menguping itu terdistraksi dengan teriakan seorang petugas pendaftaran yang mencari Kai. Seperti seorang pencuri aku bergegas berada di depan pintu toilet seolah memang habis ada sana.

"Dok, lihat dokter Kai?" tanya Kak Yul padaku.

Belum sempat aku membuka mulut, Kai keluar dari ruang pertemuan di sebelah toilet. Aku menoleh dan menunjuk dengan daguku. "Itu."

"Ada apa, Kak?" tanya Kai. Aku melihat ada mata sembabnya.

"Ada pasien, Dok."

"Loh, 'kan udah tutup loket? Kok masih didaftar aja?" protes Kai. Sepertinya mood-nya sedang tidak bagus.

"Pak Kepala Desa, Dok."

Kai berdecak. "Aku sudah bi-"

"Dok ...." Kak Yul melempar pandangan memelas, yang disambut desah Kai.

"Aku bantu, Kai. Pasienku udah kelar. Perawat gigimu hari ini izin 'kan?" kataku bersemangat.

Kai hanya melirik tajam ke arahku. "Baiklah! Ga usah protes aku suruh ini itu!"

"Suruh seka keringatmu juga aku mau kok."

Godaanku tak mempan. Hanya seperti suara riuh salakan anjing, dan Kai, Sang Kafilah berlalu begitu saja.

Aku hanya mengangkat bahu. Sambil tersenyum miring, aku melihat punggung Kai yang kini masuk ke gedung utama. Rahasia yang berusaha Kai sembunyikan telah aku ketahui. Melihat tingkahnya yang judes tapi ternyata menyembunyikan luka, membuatku semakin gemas saja. Saking gemasnya, aku sampai melupakan bahwa Hera akan datang.

Aku segera mengikuti Kai menuju ke poli gigi. Pak Kades Desa Pongnarang sudah menempatkan diri di kursi gigi. Kai sudah sibuk menyiapkan alat untuk pemeriksaan awal dan aku mencuci tangan untuk persiapan mengasisteni Kai.

Dari tempatku berdiri, aku melihat Kai yang kini hanya tampak mata kucingnya, karena separuh wajah tertutup masker. Gerakannya memegang alat begitu luwes. Nyaman dipandang. Kupikir ia akan memberikan pelayanan yang buruk karena pasien yang datang seenaknya. Namun, rupanya Kai tetap bersikap profesional.

"Dok, tolong tensi ya?" Suara Kai menyadarkan lamunanku.

"Siap!"

Aku mengambil standing sphygnomanometer raksa ke sisi kanan pasien. Sementara Kai mengambil alat pencabutan, dan obat anestesi, aku melakukan titah Kai. Aku membebatkan manset pada lengan atas pasien, lantas memasang stetoscope di telingaku dan menempelkan membran tepat di atas arteri yang berdenyut.

Aku memompa bulb dan air raksa bergerak ke atas. Hingga angka dua ratus aku memutar tombol untuk mengeluarkan udara dari manset dan menunggu hingga denyutnya tak terdengar.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang