18. Dua Gadis

560 117 43
                                    

Setelah selesai makan, kami bergegas menuju mess. Roda motor rx-king menggilas tanah berdebu dan berbatu halaman kompleks puskesmas, lewat tengah hari. Tak ada pembicaraan lagi sesudah Kai mencurahkan perasaan yang membuatku tak bisa bicara karena otakku penuh dengan bahan permenungan.

Sekali lagi, aku merasa tertampar. Merasa diri ini terlalu menye-menye, lembek, dan tak bisa diandalkan. Aku laki-laki, kaum adam yang seharusnya lebih bertanggung jawab. Nyatanya, Kai … perempuan bermata kucing yang pandangannya bisa membuat hatiku deg-deg ser, mempunyai beban hidupnya sendiri. 

Aku sengaja memarkir sepeda motor di depan mess. Aku menyangga badan motor dengan kaki panjangku, membiarkan Kai turun lebih dulu. Saat aku melepas helm, suara renyah yang kuhafal terdengar menyeruak telinga.

Jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Perlahan kepalaku bergerak, menoleh ke arah datangnya sumber suara.

"Yang!" 

Waduw, Hera sudah datang. Dan kini di depan Kai—aku yang mengaku tidak mempunyai pacar—dipanggil seorang perempuan dengan sapaan "Yang".

Aku menggeram dalam hati walau bibirku meringis mengulas senyum tanggung. Sedang manik mataku bergulir dari Hera ke Kai kembali ke Hera. Ada ketakutan Kai akan meledekku di depan Hera karena telah berbohong tak punya pacar, dan berimbas Hera marah. 

Namun, dugaanku salah. Sepertinya Kai tidak terlalu memedulikan panggilan Hera. Ia berjalan begitu saja, menyandangkan satu tali ransel di bahu kirinya. Memandang sejenak Hera, tersenyum simpul lalu sosoknya lenyap ditelan bangunan rumah yang digunakan untuk mess.

Lagi-lagi, citraku tak ada bagus-bagusnya di depan Kai. Insiden dian di kamar mandi lalu masih basah di ingatan, kini kebohonganku terbongkar. Aku hanya mendesah pelan. Kakiku masih terpaku di tanah berdebu sementara tanganku bergerak sangat pelan seolah terprogram dalam moda lambat saat meletakkan helm.

Hera dengan tawa kecilnya serta langkah yang ringan nan riang, menghampiriku. Gadis itu masih sama seperti waktu aku tinggalkan dulu. Manja, centil, dan menggemaskan. 

Ya, menggemaskan! Itulah Hera. Kalau dulu aku gemas ingin mencubit dan memeluknya, sekarang aku gemas seperti kertas yang ingin kuremas lalu aku lempar. Saat ini aku berkhayal bisa memulangkan Hera kembali ke Jawa. 

"Surprise!" pekiknya keras. 

Mulutku gagu. Aku hanya diam termangu menanggapi kejutan Hera. Namun, ekspresiku rupanya ditangkap lain oleh gadis yang selalu ceria itu.

"Kamu, ngapain ke sini?" 

Ya Tuhan, nadaku ketus sekali! Aku melirik ke arah spion, mendapati wajah gantengku yang datar, yang tetap ganteng walau berekspresi minim. Mungkin aku benar-benar sudah tertular virus kejutekan Kai, yang membuat lidahku berucap ketus.

"Kaget ya?" Hera sekali lagi berpikir sesukanya. Apakah aku menunjukkan wajah kaget? Tidak! 

Rautku tetap kalem. Rahangku masih beroklusi sementara mataku pun tak membeliak.

"Aku sudah tahu dari pengumuman," ujarku yang kini bersikap biasa seolah Hera bukan pacarku.

Sungguh, untuk bagian satu ini aku jahat. Namun, suasana hatiku sekarang sedang panas, seperti hawa Labuan Bajo di siang ini yang terik menyengat. Aku tak bisa meladeni Hera yang suka bermanja ria tak tahu tempat.

Aku turun dari motor dan menarik kaki dari sadel. Kudapati paras mencebik Hera karena sepertinya kejutannya gagal.

"Hebat, ih! Kamu sekarang naik sepeda motor? Setahuku kamu cuma bisa naik sepeda sama mobil?"

Aku berjalan menuju mess, melepas sarung tanganku. "Aku tidak harus melaporkan semua kepada kamu 'kan, Her?"

.

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang