27. Di Atas Bukit

874 129 53
                                    

Suara Hera menggelegar layaknya guntur menyambut hujan. Kedatangan gadis yang aku pacari membuat ciuman kami terjeda. Sontak wajahku memutih seperti mayat hidup yang kaku tak tahu harus berekspresi seperti apa. Tengkuk meremang, membayangkan perang akan datang.

"He … He … Hera." Lidahku kaku hingga menjadi gagu.

Hera hanya melayangkan tatapan sengit seperti ingin mencabik-cabik. Sementara Kai hanya bergeming di tempatnya. 

Bodohnya aku karena terlalu terbawa perasaan atau karena lupa hari ini hari Sabtu tapi aku bermain api? Aku merutuk dalam hati. Tamat riwayat kami. 

Tak menjawab aku, Hera menapakkan kaki dengan kasar. Ia menatap Kai dengan rahang bergetar dan raut memerah dilanda rasa marah. Saat tangan kecil itu akan melayang, aku menyergap tangannya.

Kedua perempuan itu sama-sama memelotot lebar ke arahku. Hera terkejut karena tindakannya ingin melampiaskan amarah dicegah olehku. Sedang Kai tak menyangka aku membela dirinya.

"Kak Sangka?!" desis Hera dengan mata membelalak.

"Hera, please! Jangan gini!" Nada bicaraku terdengar tegas. Hera termangu. Matanya memerah berkabut kecewa. Aku tahu hatinya telah terluka mendapati pengkhianatanku. 

"Kak Sangka, jahat!" Ia menepis tanganku dengan kuat. Kemudian berbalik meninggalkan kami.

Aku kebingungan. Di sisi lain aku harus mengejar Hera, tapi ragaku masih terpancang di tempatku berdiri.

"Sangka, kejar Hera. Jangan pikirkan aku." Kai menepuk lenganku dan masuk ke kamar.

Aku mendesah, menatap lengan bekas tepukan lembut yang menggetarkan hatiku. Bukannya meyakinkan Kai, tapi kakiku memilih melangkah mengejar Hera. Setidaknya aku harus memutuskan yang terbaik untuk hubungan kami.

Hera tampak bercakap di telepon. Aku berhenti, saat jarak antara kami kira-kira dua meter. Mendengar ia menyuruh agar tukang ojek kembali, aku lantas buru-buru mendekat dan merebut gawainya.

"Yang! Apaan sih?!" sergah Hera. 

"Kamu 'kan mau main ke sini? Kenapa pulang lagi?"

"Hah?! Untuk apa aku bela-belain ke sini cuma mau lihat kalian main drama?" 

Aku memandang berkeliling. Suara Hera yang meninggi membuatku khawatir mengundang perhatian. Gosip di desa kecil seperti ini cepat sekali menyebar dari mulut ke mulut.

"Kalau kamu tidak mau ke sini, aku antar pulang."

"Mending aku jalan kaki!" 

Mataku membeliak, menandaskan dominasi. Mungkin aku keterlaluan, tapi aku tidak ingin terjebak drama Hera. "Hera! Jangan berulah!"

"Berulah bagaimana—"

Ucapan Hera terhenti saat melihat ekspresiku yang tegang. "Aku antar pulang!"

Aku masuk kembali ke dalam. Kai masih ada di kamar. Karena ingin menuntaskan masalah dengan Hera terlebih dahulu, aku masuk ke kamar mengambil jaket dan bergegas menuju ke rumah salah satu karyawan untuk meminjam motor dinas mereka. Setelah mendapat pinjaman kendaraan, aku menghampiri Hera yang wajahnya sudah mendung.

"Ayo, Hera! Aku antar pulang."

Hera hanya bisa menurut, naik begitu saja ke boncengan. Merasa ia sudah duduk dengan manis di belakangku, aku pun memutar gas setang motor.

Hera tampak menjaga jarak, enggan berpegangan pada pinggangku seperti saat aku memboncengkannya beberapa waktu lalu. Samar-samar aku mendengar isakan Hera yang mengiris batin. 

Tentang Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang