"Treat yourself."
Aku tersenyum membaca sekali lagi pesan yang tertulis pada kertas kecil yang datang bersama dengan buket bunga cantik ini.
Lebih tepatnya, datang bersama dengan seorang terapis spa yang dia kirim ke pintu kamar kami, tadi pagi.
Rasanya, seumur hidup, belum pernah ada yang memperlakukanku seperti caranya. Dia yang selalu mementingkan semua yang menyangkut aku, di atas kebutuhannya sendiri. Bucin akut, benar-benar sebutan yang tepat.
Apakah aku bahagia? Hell ... yess! Aku tidak pernah sebahagia sekarang.
Padahal, kalau mundur ke belakang, lebih dari dua tahun ini jelas bukan perkara mudah buat kami.
Kalau yang kami pikir, kendala terbesar adalah Alex, Pond, dan perbedaan keyakinan, ternyata kami salah.
Hari itu, setelah Alex mengatakan kalau dia mencium Zara, yang kukatakan adalah, "Entah kenapa, aku udah ngerasain sesuatu yang beda di antara kalian. Kamu tahu aku nggak pernah percaya kalau persahabatan antara perempuan dan lelaki itu bisa berhasil."
"Tapi itu nggak sengaja, Tara. Kami memang sedikit minum dan—"
"Apa kamu menyukainya?" tanyaku memotong pembelaan dirinya.
"No, sudah kubilang itu hanya—"
"Apa dia menyukaimu?" tanyaku lagi. Saat itu Alex hanya diam, yang artinya jawabannya adalah iya, Zara memang menyukainya.
"Dan setelah kamu tahu kalau dia menyukaimu, kamu tetap bersahabat dengannya. Bahkan lupa memberitahu pacarmu, kalau kamu punya 'sahabat perempuan' baru." Aku sengaja membentuk tanda kutip di atas kepalaku saat menyebut sahabat perempuan waktu itu. Lagi-lagi Alex bergeming. "Apalagi kalian sampai berciuman."
Alex terlihat lesu, sangat menyesal mungkin.
"Apa kamu pernah mencintaiku, Lex?" Dia kembali memandangku dengan tatapan terkejut setelah mendengar pertanyaanku itu.
Yang penting, pada akhirnya kami saling memaafkan. Jelas, kami bukan orang yang tepat untuk satu sama lain.
Dengan Pond malah lebih mudah lagi. "Aku sudah tahu kalau kalian akan berakhir seperti sekarang, sejak kupergoki kalian di lorong toilet Insanity ...," komentarnya mengenai hubungan kami, "itu hanya masalah waktu."
Aku dan August hanya saling melempar pandangan bingung saat itu, karena bukan respons seperti ini yang kami bayangkan. "Sudah, kalian tidak perlu khawatir. Dari awal memang bukan milikku, jadi aku sama sekali tidak pernah marah. Setidaknya ... dia memilih perempuan yang tepat." Aneh, tapi itulah yang terjadi. Dan yang kudengar, saat ini dia sedang berhubungan serius dengan seseorang berwargakenagaraan Inggris.
Lalu, masalah perbedaan yang paling mendasar pun justru teratasi jauh sebelum aku sadari. Keputusannya untuk kembali ke agama Allah membuatku tidak bisa berkata-kata lagi. Bahkan dia menambah satu kata Muhammad di depan namanya. Hal yang saat itu baru kusadari setelah melihat ID Card miliknya. Oh dan bukan, itu bukan karena aku.
Maksudku, dia menjadi mualaf bukan karena ingin mendapatkan perhatianku. Rupanya, dia sebetulnya sudah lama mempelajari Islam, jauh sebelum kedatanganku ke Bangkok. Walaupun, saat itu hanya bertanya-tanya ke beberapa staf yang memeluk agama Islam.
Setelah dia berpindah keyakinan pun, tetap disimpannya erat informasi mengenai hal itu. Karena dia tidak ingin, aku mengambil keputusan hanya karena emosi sesaat.
See, tiga masalah yang menurut kami paling berat teratasi dengan mudah. Mungkin karena Allah yang memang menakdirkan kami bersama.
Tantangan berikutnya adalah menyatukan dua atau lebih budaya keluarga kami.
Orang tuaku yang perpaduan European, Chinese dan Indonesian, dengan orang tuanya yang merupakan penduduk asli Thailand dengan adat istiadat yang super ketat—walau begitu aku bersyukur mereka mengizinkan putra mereka berpindah keyakinan—belum lagi ditambah jumlah anggota keluarga yang banyak sekali.
Keruwetan itu terus berlangsung sampai menjelang hari pernikahan kami. Bahkan untuk menentukan lokasi puncak acara pun membutuhkan waktu berminggu-minggu. Hampir saja kami batal menikah hanya karena masalah itu.
Kan tinggal diadakan di dua negara? Hah! Seandainya segampang itu, pasti tidak akan berebut seperti ini.
Karena, saat diadakan di Surabaya, semua anggota keluarganya memaksa tetap ikut ke Surabaya. Mana sebagian besar Tante dan omnya belum memiliki passport. Begitu pula sebaliknya, keluargaku meminta hal yang sama saat resepsi diadakan di Bangkok.
Biaya membengkak, meskipun Papa turut membantu, tapi sebagian besar dialah yang menanggung. "Semuanya setimpal." Hanya itu komentarnya—berusaha meyakinkanku—jika aku mulai mengeluhkan perihal itu.
"How was the massage?" tanyanya tiba-tiba, sambil memelukku dari belakang, membuyarkan lamunan.
"Perfect, thank you," jawabku sambil memutar badan menghadapnya. Kukalungkan lengan di lehernya dan kami saling menempelkan kening. Sejenak menikmati kebersamaan kami dalam diam seperti ini. Kemudian, saling tersenyum satu sama lain.
"I love you," ucapnya sebelum menyatukan bibir kami.
Setelah beberapa saat, barulah aku bisa membalas pernyataan itu dengan kalimat yang sama. "I love you too."
"I know," bisiknya sebelum mencuri kecupan singkat sekali lagi dari bibirku. Aku hanya tertawa kecil menanggapi kelakuannya. "Sudah siap bertemu Quinna?"
"Yess, of course! I miss her so much!"
"Let's go, then."
Kali ini tamatnya beneran dan bukan prank lagi ya gaess, tetap jangan lupa komen dan vote yess.
Aku mau bilang makasih banyak buat semua pembaca yang udah membersamaiku, sampai kelarnya cerita ini.
Jangan lupa jaga kesehatan ya.
Bonus ngintip video honey moon mereka cuma buat kalian, klik yang di bawah ya.
Sampai bertemu di cerita Tika R Dewi yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucin Akut (Completed) ✔
ChickLit- Pilihan Editor Wattpad HQ Mei 2022 - Reading List April 2022 @WattpadRomanceID kategori Dangerous Love - - Reading List Cerita Pilihan Bulan Mei @WattpadChicklitID - Banyak yang bilang aku bucin, budak cinta. Karena, aku sampai jauh-jauh ngejar c...