"Hah?" Mencoba apa? Memangnya aku ini tikus lab bisa dijadikan bahan percobaan. Soal kita katanya. "Maksud kamu, Lex?"
Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, Alex sempat menengadah sambil menghela napas berat, lalu menekuri meja di hadapan kami. Mungkin dia butuh waktu, mungkin tadi dia terlalu emosional hingga salah bicara.
Kali ini dia kembali menatap lurus mataku, lalu berucap dengan yakin. "Gue udah mikirin ini selama beberapa hari. Sejak terakhir kali kita bicara itu, hingga hari ini.
"Gue harus move on dari rasa di masa lalu. Meletakkan, menyudahi dan memperbaiki hidup gue.
"Dan mungkin salah satu caranya dimulai dengan membuka hati, untuk seseorang yang sudah dengan tulus jauh-jauh menyusul ... ku ke sini."
Selama penjelasan panjangnya aku hanya bisa terkesima.
Akhirnya?
"Bagaimana, kamu bersedia? Memaafkan aku yang selama ini kasar ke kamu, menghalaumu berkali-kali, mengabaikanmu sepenuhnya?"
"A-aku ... aku speechless, aku pikir ... kamu mengajak ketemuan karena mau menolakku lagi, bukannya malah ...."
Aku sungguh kehabisan kata-kata, beruntungnya saat itu minuman pesanan kami datang. Jadi aku punya waktu untuk menormalkan debaran hatiku.
"Kamu terlalu berprasangka buruk padaku," sambungnya lagi.
Kamu? Udah nggak lo-gue lagi, nih?
Wow! Rasanya seluruh badanku kesemutan. Euphoria apa ini? Tenang Tara, ingat Bucin berkelas. Aku harus tetap jaim.
"Bagaimana tidak? Kamu sendiri bilang, yang selama ini kamu lakukan tuh, menolak dan ngusir aku," kataku sambil menambahkah tawa kecil untuk menutupi kegugupanku. "Jadi, sekarang kamu berubah pikiran, karena selain ingin move on ... apa lagi?
"Nggak mungkin 'kan kamu bilang kamu jatuh cinta sama aku? Atau karena kasihan, seperti pembicaraan kita terakhir kali?" Oh my, oh my, aku memang selalu banyak bicara saat merasa gugup.
Alex ikut tertawa sebelum menjawabku. "Kamu bilang tidak keberatan jika memang harus diawali dari rasa kasihan sekalipun?"
Ya memang sih, tapi tetap saja menyedihkan.
"Tapi bukan, bukan kasihan. Umh ... jujur aku merasa ada yang kurang, dengan ketidakhadiranmu selama beberapa hari ini di Surawongse's rooftop.
"Nyatanya, aku ingin melihatmu, meskipun aku tetap disibukkan dengan melayani pelanggan. Aku sering menatap ke arah entry access, berharap kamu mengabaikan permintaanku seperti yang sudah-sudah dan tetap datang ke sana."
What?! Demi apa? Ini beneran Alex, kan? Atau aku sedang duduk bersama kembarannya?
"A-aku, umh ...." Lagi, aku masih saja kesulitan bicara.
"Jadi bukan! Bukan karena kasihan, Tara."
Bukankah seharusnya aku melonjak bahagia ya saat ini? Haruskah? Ya Allah, aku akhirnya berhasil? Serius?
"Say something ... or I-"
"Jadi," selaku, "kita sekarang? Apa?"
Aku harus memperjelas situasi di antara kami, sudah kubilang bucinku bukan bucin yang bisa dibegoin. Walau memang menyusulnya ke Bangkok tanpa tujuan udah masuk kategori absurd, aku lebih suka menyebutnya begitu, mengikuti Khun August, ketimbang bego.
Khun August? Artinya setelah ini, giliran aku yang mematahkan hati orang lain. Tuhan kenapa jatuh cinta harus serumit ini.
"Aku lebih suka mengatakan hubungan kita ekslusif, sebelum langsung menyebutnya in relationship." Dia memetik jarinya membentuk tanda kutip di atas kepalanya, ketika menyebut kata-kata in relationship.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucin Akut (Completed) ✔
ChickLit- Pilihan Editor Wattpad HQ Mei 2022 - Reading List April 2022 @WattpadRomanceID kategori Dangerous Love - - Reading List Cerita Pilihan Bulan Mei @WattpadChicklitID - Banyak yang bilang aku bucin, budak cinta. Karena, aku sampai jauh-jauh ngejar c...