Bab 4

17.5K 1.5K 47
                                    

Bang Bian...

Rhaya masih berdiri diam di tempatnya. Sosok lelaki yang selalu hilir mudik di dalam pikirannya itu kini ada di depannya. Hanya berjarak beberapa langkah saja namun hanya bisa ia pandangi tanpa tahu apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya. Kakinya terasa begitu berat hingga sulit sekali rasanya untuk sekedar melangkah. Rhaya ingin menyapa, namun mulutnya pun ikut-ikutan enggan untuk sekedar mengucapkan sepatah kata 'hai' sekalipun.

Tepat di saat akhirnya ia mulai bisa mengendalikan dirinya dan berniat untuk segera pergi dari hadapan lelaki tersebut, tiba-tiba saja Abian menengadahkan kepalanya.

Mereka saling menatap, dan Rhaya bisa melihat kerutan tipis di kening lelaki tampan itu. Matanya yang menyipit seperti tengah mengingat-ingat sesuatu membuat perasaan kecewa lantas menghinggapinya.

Ah, sepertinya dia lupa sama gue. Rhaya membatin sedih.

"Kamu Rhaya temennya Nana, kan?"

Oh tuhan, dia inget nama gue ... Rhaya bersorak dalam hati.

"Kenapa diem aja di situ? Ayo duduk sini." Abian tersenyum hangat sembari melambaikan tangannya menyuruh Rhaya untuk duduk di hadapannya.

"Kamu sendirian aja? Nana mana?"

Rhaya yang baru mulai duduk sontak menengadah. Lagi, napasnya seakan terhenti begitu tatapan matanya bertemu pandang dengan pemilik sepasang bola mata jernih itu.

"Hannah masih ada kuliah sampe sore, Bang," jawabnya cepat.

"Oh ..."

Hanya satu kata lalu kembali hening. Tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka berdua. Lelaki itu kembali serius menatap tumpukan kertas di depannya sementara Rhaya mencoba untuk fokus membaca buku yang ia bawa.

Rasanya sungguh canggung sekali.

Rhaya berusaha berkonsentrasi pada buku yang ada di depannya. Namun seberapa keras pun ia berusaha, ia sama sekali tidak bisa mengabaikan sosok lelaki yang sedang duduk di hadapannya saat ini. Pikirannya benar-benar teralihkan hanya dengan kehadiran lelaki itu. Aroma segar parfumnya menguar lembut memanjakan hidungnya. Tarikan tipis bibirnya serta matanya yang terkadang menyipit dibarengi dengan kerutan di dahinya ketika berusaha mengingat sesuatu, sukses menyedot seluruh perhatian Rhaya.

Laptop yang menyala, kertas-kertas yang berserakan, dan suara ketukan lembut jari jemari yang beradu dengan keyboard membuat berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Apa yang sedang lelaki ini kerjakan? Sesuatu yang sangat pentingkah? Apa pekerjaannya? Guru? Dosen? Atau seorang pekerja kantoran?

Dan tanpa Rhaya sadari, ia terus menerus menatap Abian.

"Kenapa?"

"Eh...?"

"Apa ada yang ingin kamu tanyakan? Atau ada sesuatu yang menempel di wajah saya?"

Rhaya menggeleng kemudian menunduk sembari menggigit-gigit bibirnya dengan gugup. Wajahnya seketika terasa panas karena rasa malu yang dirasakannya. Bisa-bisanya ia menatap lelaki tersebut secara terang-terangan, dan pake acara ketahuan pula.

"Jangan digigit..."

"Ya, Bang ...???"

"Bibirnya jangan digigit." Abian kembali berkata sambil tersenyum dengan lembut.

Rhaya merona. Tubuhnya terasa melayang saking bahagianya. Namun kebahagiaan itu ternyata hanya mampu bertahan sesaat saja. Dalam sekejap ia tersadar, lalu seketika terhempas pada sebuah kenyataan. Lelaki ini bukan untuknya. Ada wanita lain yang sudah memilikinya.

Toko Buku Kecil (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang