Khalila Atmadja
***
Beberapa bulan berlalu sejak perpisahan itu. Perpisahan yang menoreh luka hingga menganga begitu lebar di hati seorang Khalila Atmadja.
Setiap hari masih tetap sama. Rasa sakit karena kehilangan sosoknya, perasaan rindunya, dan banyaknya air mata yang terus tumpah dan membasahi wajahnya. Sejak perpisahan itu, secara tiba-tiba semua kenangan indah kebersamaan mereka terus bermunculan dan saling tumpang tindih menari-nari di pelupuk matanya. Kepalanya seperti sedang memainkan sebuah film romansa yang setiap adegannya penuh dengan berbagai macam rasa.
Lalu bagaimana caranya melupakan? Bagaimana caranya berdamai dengan lukanya? Dari mana ia harus memulai kehidupannya setelah bertahun-tahun terbiasa membagi kisah hidupnya dengan seseorang yang ternyata begitu berarti baginya?
Bahkan sampai dengan hari ini, rasa kehilangan itu masih begitu nyata terasa hingga menggerogoti seluruh tubuh dan juga kewarasannya. Dadanya masih terasa begitu sesak seakan ada tangan-tangan tak kasat mata yang terus menerus meremas hatinya.
Perih.
Sejak hari di mana perpisahan itu terjadi, sosok Abian tidak pernah pergi sedikitpun dari hidupnya. Lelaki itu masih di sana, memenuhi semua sudut ruang di hatinya. Bersemayam di kepalanya, dan selalu terucap dalam setiap doa-doanya.
Abian Sastra, pria tampan yang paling baik hati dan penyayang di mata Khalila.
Tiada satu hari pun tanpa Lila mengingat sosok lelaki tersebut. Tawa renyahnya, ekspresi wajahnya, dan juga perhatiannya pada hal-hal kecil namun sarat akan makna. Dan semua kenangan itu terus berputar-putar dalam benaknya, tinggal dan menetap tanpa ia tahu kapan tiba waktunya untuk melupakan dan merelakan. Ingatan yang terus mendominasi seluruh isi kepalanya hingga hanya ada Abian Sastra dan tidak ada yang lainnya.
Lalu kini, yang tersisa hanyalah rasa rindu yang tak berperi hingga terkadang terasa begitu menyesakkan. Ia rindu senyum lembutnya, sorot matanya yang selalu bersinar dengan hangat, genggaman erat tangannya, kecupan lembut di dahinya, dan juga pelukannya. Pelukan erat yang mengubur tubuhnya hingga tak terlihat. Sebuah pelukan yang selalu membuatnya merasa terlindungi dari kejamnya dunia.
Hidupnya yang selalu teratur dan terencana seketika berubah menjadi kacau balau. Waktu pun terasa bergerak semakin lambat dan terus melambat lalu pada akhirnya, dengan terseok-seok dan susah payah, ia berusaha melewati hari demi hari sambil memikul sebuah beban berat yang menggelayuti pundak dan menghimpit hatinya.
Perpisahan ini ternyata begitu menyakitkan untuknya. Tiada lagi sosok wanita tangguh nan perkasa seperti dirinya yang biasa, dan hanya tersisa seorang Khalila Atmadja yang rapuh dan tak berdaya.
Lila terisak.
"Bian ..." lirih suaranya terdengar.
Lagi, selagi menangis, kenangan saat ia bertemu dengan Abian di kantin belakang kampus untuk pertama kalinya kembali menyeruak dan memorak-porandakan hatinya yang sudah luluh lantak. Pertemuan pertama mereka, kencan pertama, dan juga ciuman pertama mereka.
Lila seketika tersenyum sambil meraba bibirnya. Ia bahkan masih mengingat dengan jelas kapan ciuman pertamanya dengan lelaki itu terjadi. Ia juga tidak akan pernah lupa dengan senyum bahagia yang terukir begitu lebar di wajah Abian saat kekasih hatinya itu menyematkan sebuah cincin mungil di jari manisnya. Cincin yang masih tetap ia kenakan walaupun keadaan sudah berbeda dan tidak lagi sama. Cincin yang terus menerus ia pandangi dengan mata yang semakin mengabur karena air mata yang tidak henti-hentinya mengalir di wajahnya.
Setiap hari, gelombang kerinduan itu akan menyerang dan menghantamnya dengan keras. Di mana pun dan kapan pun itu, sosok Abian selalu muncul dan menghantuinya. Setiap saat, dan di setiap waktu yang bergulir dengan begitu pelan.
Seperti hari ini, selagi ia duduk dan menangis di depan jendela kaca, ia bisa melihat dengan jelas sosok Abian yang tengah berada di dapur apartemennya. Mengenakan apron pink dengan sebilah pisau digenggaman tangannya, Abian terlihat begitu lihai memotong-motong sayuran bak seorang chef terkenal. Lalu di hari sebelumnya, ia bahkan melihat siluet tubuh ramping kekasihnya itu sesaat setelah pintu apartemen terbuka. Sambil ditemani dengan secangkir kopi hangat dan sebuah buku, Abian duduk di sisi jendela kaca selagi menunggu dirinya pulang dari kesibukannya di kampus.
Abian, si lelaki baik hati itu ada di mana-mana.
Terkadang, ingin sekali ia menyentuh kemudian berlari masuk kedalam pelukannya yang hangat. Memeluknya dengan erat dan tidak akan pernah membiarkan lelaki itu pergi menjauh dan meninggalkannya. Namun setiap kali ia mendekat, sosok lelaki itu perlahan-lahan mulai mengabur lalu menghilang dalam sekejap mata. Menyisakan rasa kosong, hening dan perasaan hampa.
Sudah lebih dari 10 tahun hubungan mereka terjalin. Tahun-tahun yang penuh dengan berbagai macam cerita dan kejadian di setiap waktu yang mereka habiskan bersama. Tidak melulu indah dan akan selalu ada masalah namun, semua selalu berakhir dengan manis dan penuh tawa.
Sepuluh tahun, waktu seakan cepat berlalu tapi juga terasa lambat di saat yang bersamaan. Dan Lila pikir, semua akan baik-baik saja. Abian akan tetap ada di sana dan selalu menunggunya. Lelaki itu tidak akan pernah meninggalkannya.
Namun ia salah.
Ia menjadi terlalu percaya diri dan berpikir bahwa cinta mereka berdua akan baik-baik saja. Sebuah kepercayaan diri yang besar hingga membuat dirinya, selama bertahun-tahun, hanya fokus mengejar seluruh mimpi-mimpi yang ia bangun guna memenuhi segala ambisinya.
Lalu pada akhirnya, ia justru melupakan hal yang paling penting. Perasaan Abian. Keinginan Abian. Dan juga mimpi-mimpi Abian.
Beberapa tahun ini pasti sangat melelahkan bagi lelaki itu. Tanpa pernah satu kali pun mengeluh, Abian selalu mendukung, memahami, dan mencintainya dengan seluruh hati dan jiwanya. Lelaki itu akan selalu menggenggam tangannya dan menghiburnya setiap kali ia merasa lelah dengan segala rutinitas dan kesibukannya. Ia, yang selalu menjadi prioritas bagi seorang Abian Sastra.
Pada akhirnya, semua hanya berputar pada dirinya, kebahagiaannya, dan mimpi-mimpinya
Dan hari ini, Lila akhirnya menyadari kalau ia sama sekali tidak pernah berusaha memahami perasaan Abian. Selama ini ia hanya berpikir kalau semua yang ia berikan pada lelaki itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Abian terus bertahan di sisinya. Ia tidak pernah mau repot-repot bertanya apa yang menjadi keinginan kekasihnya itu, apa yang sesungguhnya Abian inginkan, rasakan, dan apa yang sedang lelaki itu pikirkan.
Penyesalan, memang selalu datang paling akhir. Dan ketika semua berakhir, barulah ia menyadari betapa egois dirinya yang dulu.
Lila memeluk kedua lututnya. Pelan, ia rebahkan kepalanya sambil menatap ke satu titik di mana sesosok bayangan terlihat begitu nyata di ujung sana.
Bian ... Bagaimana keadaanmu hari ini? Apa kamu juga selalu menangis seperti aku yang selalu menangis setiap mengingatmu dan semua kenangan kita? Masih bolehkah aku berharap kalau kamu akan datang dan bilang padaku bahwa semua akan baik-baik saja, Bi? Masihkah nomerku tersimpan di Ponselmu? Kenapa kamu tidak pernah menghubungiku sama sekali? Tidakkah kau juga merindukanku? Katakan padaku, Bi. Katakan kalau kau akan selalu mencintaiku dan selamanya akan berada di sisiku.
Khalila terisak. Air mata semakin deras menuruni pipinya.
Oh... inikah akhirnya?
Haruskah ia menunggu takdir saja yang bekerja menyatukan mereka kembali?
Atau ...
Berusaha memperjuangkan kembali cintanya?
***Halo... gimana keadaan kalian hari ini? Semoga sehat2 semua ya 🥰🥰.
Terima kasih masih bertahan baca ToBuCil 😘 jangan lupa untuk vote dan komen ya.Stay Safe, Stay Healthy! Ya kalian semua.
Ps. Jangan lupa follow akunku di sini Me_lly_ ya. Terima kasih 🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Buku Kecil (COMPLETED)
RomanceAku menemukan nya tak sengaja, disuatu sore yg cerah, disudut jalan Braga. Sebuah bangunan berlantai 2 yang didalamnya penuh akan buku-buku dan komik yang begitu memanjakan mata. Toko Buku Kecil. Sebuah nama yang unik bukan. Di Toko Buku Kecil inila...