Abian Sastra
"Abang! Rhaya kangen!" Kalimat yang Rhaya ucapkan begitu wajahnya muncul di layar handphoneku.
Aku tersenyum mendengarnya.
Aku juga sangat merindukannya. Aku merindukan senyumnya, tawanya, tatapan matanya yang polos, pelukan eratnya di tubuhku, pipinya yang memerah saat aku menciumnya serta omelannya padaku.
Aku merindukan semuanya.
Aku merindukan saat dia memanggilku Abang dengan suara lembutnya.
Merindukan wajah kesalnya saat aku mulai menjahilinya.
Aku bahkan merindukan tangisan dan rengekannya karena hal-hal yang sederhana.Lalu sekarang saat melihat wajah cantiknya dan tatapan matanya yang berbinar dengan polosnya, rasanya aku ingin menarik dan mengubur tubuh mungilnya ke dalam pelukanku.
"Abang lagi ngapain? Rhaya dari tadi di kamar aja nggak boleh ngapa-ngapain sama orang rumah. Kan bosen, Bang! Masa bantu-bantu dikit aja nggak boleh?" Suaranya kembali terdengar dan aku hanya tertawa mendengarnya. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyela ucapannya karena saat ini yang kulakukan hanya memandangi wajahnya yang kesal dan bibirnya yang tengah cemberut yang justru terlihat semakin menggemaskan di mataku.
Oh Tuhan, aku benar-benar merindukan dirinya hingga mau gila rasanya. Aku bahkan mulai berpikir untuk mendatangi rumahnya di tengah malam buta lalu masuk diam-diam ke dalam kamarnya melalu jendela.
"Mau ala-ala Romeo and Juliet, Bi? Kalau Romeo manjat dinding sedangkan lo lewat jendela gitu?" Ben mendengus ke arahku dengan sebal. "Emang jaman sekarang masih ada ya jendela rumah nggak ada teralisnya, Dim?"
"Mungkin Bian sekalian bawa gergaji, Ben." Selanjutnya giliran Dimas yang mengolok-olokku.
Sejak kemarin aku tiba di Prabumulih bersama Ben dan Dimas, aku memang belum bertemu Rhaya sama sekali.
"Dipingit dulu ya, Bi selama tiga hari."
Tubuhku mendadak lemas mendengar ucapan Anta siang itu. Tiga hari. Aku harus kembali menunggu untuk bisa bertemu dengan Rhaya.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan gadisku itu. Rinduku sudah begitu menggunung, dan sudah tidak sabar ingin berjumpa dengannya.Alhasil sejak tiba di hotel, aku langsung meneleponnya. Pagi, siang dan malam sebelum tidur, aku selalu melakukan video call dengan Rhaya.
Seperti hari ini, aku hanya melihatnya tidur dengan handphone yang tetap menyala menyorot wajahnya yang sudah terlelap. Aku tidak tau berapa lama aku memandangi sosoknya yang tertidur dengan begitu nyenyaknya. Mendengarkan suara dengkuran halusnya, tarikan nafasnya yang tenang dan wajahnya yang terlihat begitu damai.
"Mimpi yang indah, Sayang. Abang mencintaimu." Aku berbisik pelan lalu mulai menutup mataku tanpa mematikan sambungan telepon kami. Biar saja! Karena aku ingin wajahnya lah yang aku lihat saat aku membuka mata esok hari.
Rasanya hari bergulir begitu lama dan waktu seakan melambat. Detik demi detik, menit demi menit akhirnya terlewati dan akhirnya penantianku berakhir.
Saat teriakan SAH bergema di ruang tamu ini, perasaan lega dan rasa haru menyeruak yang seketika membuat kedua mataku terasa panas.
Rasanya aku ingin berteriak begitu kencang meluapkan kebahagiaanku."Abang..." aku menoleh saat suara lembut Mamah terdengar kemudian wanita kesayanganku itu membantuku berdiri dengan menggenggam erat telapak tanganku untuk menyambut istriku.
Aku menatap lekat Sosok wanita yang tengah berjalan pelan selangkah demi selangkah menuju ke arahku. Rhaya terlihat cantik dan anggun mengenakan kebaya berwarna gading dipadukan dengan kain batik yang membungkus indah tubuh rampingnya. Rambut hitam panjangnya yang biasanya tergerai indah kini disanggul rapi dengan hiasan bunga di atasnya memperlihatkan lehernya yang jenjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Buku Kecil (COMPLETED)
Roman d'amourAku menemukan nya tak sengaja, disuatu sore yg cerah, disudut jalan Braga. Sebuah bangunan berlantai 2 yang didalamnya penuh akan buku-buku dan komik yang begitu memanjakan mata. Toko Buku Kecil. Sebuah nama yang unik bukan. Di Toko Buku Kecil inila...