Bab 16

17.3K 1.1K 26
                                    

I choose to love you in silence...
For in silence i find no rejection,

I choose to love you in loneliness...
For in loneliness no one owns you but me,

I choose to adore you from a distance...
For distance will shield me from pain,

I choose to kiss you in the wind...
For the wind is gentler than my lips,

I choose to hold you in my dreams...
For in my dreams, you have no end.

-Rumi-

                                    ***

Abian berdiri tegak di tengah-tengah lobby apartemen. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, memperhatikan satu persatu orang-orang yang sedang berlalu lalang ataupun yang hanya duduk bersantai di sofa bulat di sudut ruangan. Dadanya terasa begitu sesak. Berbagai macam hal berkecamuk di pikirannya, kepanikan dan kecemasan semua bercampur menjadi satu.
Abian menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Tangannya tak henti menyugar rambutnya kemudian meremasnya dengan keras dengan handphone yang masih terus menyala berusaha menghubungi Rhaya. Setengah berlari dia keluar dari lobby, menyusuri sepanjang jalan seputaran Apartemen dengan tak hentinya terus mengumpati kebodohan yang sudah dirinya lakukan. seperti orang gila, Abian terus berbicara, memohon dan berharap Rhaya secara tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Kamu di mana, Ya? Tolong angkat telpon Abang." Abian kembali menyugar rambutnya kasar.

Kelelahan, Abian terduduk ditepi trotoar. Sambil memejamkan matanya, kakinya dia selonjorkan di atas aspal dengan peluh yang terus menetes dari dahinya dan sudah membasahi bajunya. Sudah terlalu jauh dia berjalan, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Rhaya di sepanjang jalan yang dilaluinya. Abian menundukkan wajahnya dengan tangannya yang bertumpu di kedua lututnya. Entah kenapa, jauh di dalam hatinya, dia yakin kalau Rhaya masih ada di seputaran Apartemennya. Tapi di mana?
Selama beberapa saat, Abian hanya diam tanpa melakukan apapun sampai akhirnya dia berdiri kemudian segera berbalik menuju Apartemennya. Satu-satunya tempat yang terpikir sekarang hanyalah kosan Rhaya. Walaupun dia tau, kemungkinannya sangat kecil dia bisa menemukannya di sana.

Abian memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sesekali, terdengar suara nyaring klakson dari beberapa kendaraan lain yang merasa terganggu dengan caranya mengemudi, yang sedikit ugal-ugalan setiap kali berusaha menyalip kendaraan yang berada di depannya. Abian sama sekali tidak menghiraukan omelan-omelan pengendara motor maupun suara-suara klakson mobil yang saling bersahutan dan begitu memekakkan telinganya. Dia hanya fokus menatap jalanan di depannya dengan sesekali menatap lekat orang-orang yang sedang berjalan di sepanjang sisi jalan. Berharap menemukan seraut wajah yang dikenalnya diantara mereka.
Abian terus mengumpat keras, berkali-kali memukul stir kemudi dengan kasar, merasa begitu frustasi dan juga rasa khawatir di saat yang bersamaan, yang terus menerus mendera hatinya.

Abian memarkirkan mobilnya dengan asal begitu sampai di depan kost Rhaya. Berlari dengan kencang menuju kamarnya tanpa perduli dengan tatapan para penghuni kost yang lainnya. Tanpa mengidahkan suara-suara yang saling berbisik di sekitarnya, Abian menggedor-gedor pintu sambil terus berteriak memanggil nama Rhaya. Tapi, seperti yang sudah dia duga, kamarnya terkunci dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Rhaya di dalamnya. Gedorannya di pintu semakin lemah, tangannya jatuh dengan lunglai ke sisi tubuhnya.

"Rhaya... kamu di mana?" Abian menggumam pelan, tubuhnya merosot jatuh terduduk di lantai, menekuk kedua kakinya dengan punggung menyandar pada pintu kamar. "Kamu di mana, Ya."

Abian akhirnya memutuskan untuk menelpon Hannah, satu-satunya sahabat terdekat Rhaya, yang juga sepupu tersayangnya.
Abian tau, Hannah pasti akan marah besar padanya bahkan mungkin membencinya. Tapi dia sungguh berharap, semoga Rhaya setidaknya menghubungi Hannah.

Toko Buku Kecil (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang