Bab 6

16.8K 1.3K 18
                                    

Duduk termenung seorang diri di sebuah meja panjang yang menghadap langsung ke arah pintu, sesosok perempuan cantik berperawakan mungil terlihat beberapa kali menengadah setiap kali terdengar suara langkah kaki yang memasuki kantin. Sekali lagi, suara helaan napas terdengar. Sedikit berat dengan nada yang terdengar sedikit lelah bercampur gelisah.

"Lama banget, sih, Na." Suara yang lebih mirip sebuah bisikan mulai terdengar.

Perempuan bertubuh mungil itu Rhaya. Dan suara yang terdengar lebih mirip sebuah bisikan itu keluar dari bibirnya. 

Entah sudah berapa puluh kali Rhaya melihat pergelangan tangannya, dan entah sudah berapa kali juga ia bolak-balik memandangi selasar panjang yang menghubungkan gedung jurusannya dan kantin kampus. Namun Hannah, sosok yang ia tunggu-tunggu itu tidak juga mulai menampakkan batang hidungnya. Kedua bola matanya terus bergerak ke sana kemari mencari-cari sosok perempuan cantik  berkaki panjang di antara sekumpulan mahasiswa yang terlihat berlalu-lalang di sepanjang selasar. 

Lagi, hanya kekecewaan yang ia rasakan. Sebanyak apa pun ia melihat pergelangan tangannya dan seperih apapun kedua bola matanya karena terlalu sering menatap selasar dari kejauhan, namun Hannah tetap tidak terlihat bahkan bayangannya sekalipun.

Kantin semakin lengang. Suara bising dari langkah kaki maupun dari mulut-mulut yang saling berbicara dan tertawa kini perlahan mulai senyap menyisakan suara detak jarum jam di dinding yang lantang terdengar di telinganya. Dua jam sepuluh menit, dan tidak ada tanda-tanda kalau sahabatnya itu akan segera datang.

"Besok di rumah ada acara keluarga, Rhay. Kamu nginap, ya."

Selagi termenung memandangi dua gelas minuman yang telah kosong dan satu botol air mineral yang hanya tersisa setengah, ucapan Hannah tadi pagi kembali terngiang. Sebaris kalimat yang tentu saja, dalam sekejap mata, membuat mulutnya seakan terlupa bagaimana caranya berbicara. Bibirnya memang terkatup rapat-rapat namun jantungnya, tanpa rasa malu, bersorak-sorai begitu kencang dan gegap gempita.

Jantung Rhaya menggila. Seluruh organ di tubuhnya pesta pora.

Acara keluarga ...

Hanya dua kata namun membuat senyum seakan enggan untuk meninggalkan wajahnya.

Bibir yang dulu jarang sekali tersenyum dan wajah yang selalu murung itu akhir-akhir ini mulai jarang terlihat. Mendadak saja, semua ketakutan dan kecemasannya tentang hidup dan kehidupan seketika tak lagi terasa menakutkan. Rasanya ia bisa dengan leluasa bernapas meskipun mungkin hanya bersifat sementara saja.

Berlebihan? Anggap saja seperti itu. Namun bagi Rhaya, setitik cahaya pun sangat berharga terlebih di kala kehidupannya terasa begitu gelap.

Rhaya benar-benar merindukannya. Ia rindu sosok lelaki berwajah teduh itu. Sepercik rindu yang semakin hari semakin bertambah kadarnya layaknya sepasang manusia yang sudah lama tidak saling bertemu muka walaupun pada kenyataannya, mereka sering kali secara tidak sengaja bertemu di Toko Buku Kecil. Siang hari, di kala langit begitu terang benderang karena pancaran sinar matahari yang begitu terik atau di sore hari kala matahari mulai redup sinarnya.

Terkadang mereka sama sekali tidak berbicara terlebih ketika separuh dari meja dipenuhi oleh tumpukan berkas-berkas dan lembaran kertas.

Wajah yang serius, mata yang menatap fokus, dan gerakan jari- jemari yang menari-nari di atas kertas sudah menjadi pemandangan yang biasa buat Rhaya.

Namun sesekali, saat rasa keingintahuannya mendesak keluar dan tidak lagi bisa ia tahan, Rhaya tidak pernah sungkan untuk bertanya. Perlahan-lahan ia mulai berani untuk mengeluarkan suara. Ia mulai berani bertanya tentang banyak hal tanpa takut dipandang remeh atau ditertawakan hanya karena ketidaktahuannya akan sesuatu. 

Toko Buku Kecil (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang