Bab 7

16.1K 1.3K 21
                                    

Rhaya menatap nanar seraut wajah yang terbingkai indah di dalam pigura di atas meja kerja Abian.

Cantik..

Pelan, tangannya terulur meraba dadanya. Nyeri.

Inikah yang dinamakan patah hati? Rasanya bahkan lebih sakit daripada tatapan datar tanpa ekspresi dengan kata-kata meremehkan yang ia terima selama bertahun-tahun di dalam hidupnya.

Rhaya jatuh cinta untuk yang pertama kalinya namun di saat yang bersamaan, ia juga harus menerima kenyataan kalau lelaki yang ingin ia beri seluruh hatinya tersebut, telah memiliki seseorang.

Rhaya terluka. Ia sudah kalah bahkan sebelum mulai memperjuangkan cintanya.

Gemetar, ia letakkan kembali pigura foto itu ke atas meja. Rhaya berbalik, berjalan dengan langkah gontai menuju sofa di ruang tengah. Mengurungkan niatnya untuk mengambil minuman, ia memilih menunggu sampai lelaki itu keluar dari kamarnya sambil tidak henti-hentinya mengutuki rasa penasaran yang tidak pada tempatnya.

Seharusnya ia terus saja berjalan ke arah dapur. Tapi kenapa ia malah  berhenti di meja itu? Kenapa ia harus melihat foto itu? Kenapa?

Sekali lagi, ia menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan kuat. Kepalanya menengadah, menatap kosong langit-langit yang berwarna senada dengan dinding apartemen.

Sekuat tenaga, Rhaya berusaha menahan butiran air mata yang mendesak untuk turun dari kedua sudut matanya. Ia tidak ingin menangis. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak punya alasan untuk menangis apalagi terluka.  Akan tetapi, sekuat apapun ia berusaha menahannya, air mata itu luruh juga.

Rhaya menyerah. Ia membiarkan saja butiran air mata itu tumpah membasahi kedua pipinya.

Hanya sebentar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hanya sebentar. Wahai hati, biarkan aku menangis sebentar saja ...

Rhaya terus merapalkan kalimat penghiburan untuknya.

Suara langkah kaki dari dalam kamar  sontak menyadarkan Rhaya. Buru-buru ia hapus air matanya dengan punggung tangan. Pelan, ia kembali menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan berharap semua sesak itu menjadi lebih ringan. Jangan sampai lelaki itu melihatnya menangis. Ia sungguh tidak ingin terlihat lemah di hadapannya.

Namun yang tidak Rhaya ketahui, di sana, tepat di depan pintu kamar, Abian tengah menatap lurus ke arahnya.

Abian hanya berdiri tanpa berniat untuk menghampiri Rhaya. Pandangan matanya lurus menatap punggung gadis yang tengah serius menatap televisi di depannya tersebut.

Lagi, kamu hanya duduk diam tanpa melakukan apapun. Matamu menatap televisi tapi sorot mata itu tampak kosong. Bahkan hanya dengan melihat punggungmu saja, Abang bisa merasakan kerapuhanmu.
Kenapa, Ya? Apa yang sedang kamu pikirkan? Begitu beratkah beban yang kamu rasakan di hatimu? Kenapa kamu selalu terlihat murung? Tidak bisakah kamu sedikit berbagi kesusahanmu?

Toko Buku Kecil (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang