Chapter 16

47 9 0
                                    

[Let The Game Begin]

"Kau boleh melepaskan semua yang menjadi bebanmu, tapi tidak dengan cara menyakiti yang lain. Kau bisa memulainya dengan berbicara pada seseorang. Utarakan semua hingga kau benar-benar merasa lega—walau untuk sementara."

***

"Apa kau sudah gila?!"

Julian tidak tahan untuk menaikkan nada bicara saat Somi berhasil ia amankan di dalam unit apartemennya. Gadis itu hanya bisa menunduk dan meremat tangannya sendiri, membiarkan kukunya memberi tekanan pada kulitnya bertubi-tubi hingga memerah, dan mungkin jika rematan itu berlanjut maka darah segar akan keluar dari sana.

Theo yang menyusul dari arah belakang masih bungkam dan memilih untuk membantu Iris duduk di sofa keras milik Julian. Mungkin jika bukan Theo yang menjemput mereka berdua di belakang studio—tempat Tim Cheerleader berlatih—Julian dan Somi sudah tertangkap basah di sana.

"Siapa yang ingin kau bunuh? Ke mana akal sehatmu itu?" Julian masih tidak berhenti menyalahkan Somi sedangkan Theo justru dengan lancangnya membuka lemarinya dan mencari sebuah handuk bersih untuk ia berikan pada sang kekasih—lagi pula Julian tidak akan tersinggung dengan sikap lancangnya ini, pikir Theo.

Sejenak suara di dalam unit sederhana itu menghening. Julian berjalan ke arah pintu, menoleh sejenak ke arah lorong gedung, memastikan jika tidak ada satu pun orang yang membuntuti mereka, sebelum mengunci pintu itu rapat-rapat.

"Apa yang ingin kau lakukan?" Julian bertanya kembali. Ia meletakkan ransel biru milik Somi di lantai dengan hati-hati. Isi ransel itu jelas tidak bisa dianggap sepele.

"A-aku, aku." Somi terbata-bata, ia yang mengenakan jaket oversize dengan tutup kepala yang menjuntai hingga menutupi setengah wajahnya itu hanya bisa diam seolah mati kutu. Ia bahkan tidak tahu apa yang tengah ia lakukan malam ini, semua benar-benar di luar kendali.

"Julian tenanglah sedikit." Theo meminta Julian untuk duduk tenang, pemuda itu kemudian hanya bisa menghela napas berat lalu beralih ke arah jendela kamarnya, membuka lebar dan mendudukkan diri di sana. Ia benar-benar butuh udara segar.

Theo berjalan mendekati Somi, berjongkok di hadapannya lalu membuka penutup kepala gadis itu hingga raut wajah pucat pasinya terlihat begitu jelas. "Somi, di mana kau mendapatkan pistol-pistol itu?" tanya Theo sembari menunjuk ransel biru di lantai.

Iris dan Julian sama-sama mengamati dari posisi mereka. Merasa begitu penasaran dengan Somi yang dengan santainya menulis pesan anonymous ke portal khusus untuk siswa ACME—masing-masing siswa memiliki satu akun untuk saling memberi update atau infromasi lainnya, seperti mengundang seantero sekolah untuk berpesta secara efektif, contohnya.

I'm gonna kill myself. But ... after I kill all of you, kids.

Start from cheerleader team. Girls ... now is your turn, be ready.

Pesan ancaman pembunuhan dengan lampiran sebuah foto pistol yang sedang digenggam. Julian bersyukur karena saat pesan anonymous itu ter-posting ia memang sedang stand by di hadapan komputer untuk menyelidiki beberapa data di sana, mencari siapa kira-kira rekan sekolah yang sudah berani meneror ia dan Theo dengan bangkai tikus pagi ini.

Hanya dengan beberapa rumus yang ia tahu, Julian berhasil menemukan dan melacak siapa sang pengirim pesan, sekaligus menghapusnya saat itu juga. Memastikan bahwa tidak ada siapa pun yang menerima notif pembaruan yang otomatis terkirim ke ponsel masing-masing siswa. Tidak boleh ada satu pun siswa yang tahu akan hal ini.

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang