[Anonymous]
"Beberapa merasa tidak berguna, hina dan rendah. Lalu beberapa lainnya merasa paling tinggi, superior dan sempurna. Remaja, begitu lugu, tidak tahu menahu apa pun, namun bertingkah seolah yang paling tahu."
***
Rumah yang lebih pantas disebut dengan mansion itu tampak ramai. Halaman luas yang biasanya hanya diisi oleh mobil sang pemilik kini dipenuhi puluhan mobil ternama yang berjajar rapi.
Suasana hunian mewah yang biasanya hanya diramaikan oleh dentingan sendok dan garpu di atas piring—saat waktu makan bersama tiba—kini bahkan jauh lebih dari sekadar dentingan di atas meja makan.
"Nikmati hidangan dan berdansalah sepuasnya!"
Theo tersenyum di sofa, melipat kedua tangan sembari mengamati Jimmi yang begitu menggila di tengah sana. Sepertinya sobat satu kelasnya itu memang ingin membebaskan diri sejenak dari tuntutan dunia, yang entah mengapa seolah menjerat leher Jimmi begitu erat—pemuda itu terlalu lelah dengan titah orangtua yang tak ada habisnya.
Ruang tamu, ruang tengah, taman belakang termasuk area kolam renang, yang Jimmi gunakan sebagai tempat utama pesta malam ini terlihat penuh. Canda tawa juga musik dance-pop, yang menggugah diri untuk berdansa bersama, terdengar begitu jelas. Beberapa dari mereka bahkan sudah ada yang menuju kamar di lantai satu—sengaja Jimmi siapkan untuk siapa pun yang ingin tidur atau melakukan sesuatu di dalam sana.
Benar-benar seperti rumah konglomerat yang banyak digunakan untuk syuting film ternama. Begitu besar, luas, fasilitas lengkap dan pastinya sangat nyaman untuk ditinggali. Untung saja keluarga Jimmi kembali satu minggu kemudian, jadi pemuda itu masih punya waktu untuk meminta bawahannya membersihkan sisa pesta yang pastinya kacau.
"Kau datang?" Theo yang tadinya nyaman duduk dan mengamati sekitar di sofa, kini sudah berdiri di samping Julian yang mendudukkan dirinya di kursi dapur—disulap sedemikian rupa sehingga tampak seperti bar mini.
"Di mana pujaan hatimu?" Bukannya menjawab, Julian justru balik bertanya, membuat Theo terkekeh kecil.
Julian sudah tahu apa alasan Theo tidak menghampirinya ke perpustakaan tadi sore, pemuda itu maklum dengan Theo yang begitu mengutamakan Iris. Ia tidak mau menghakimi di sini, ia juga pernah jatuh cinta.
"Dia tidak datang." Theo menerima segelas bir yang disediakan oleh pria yang malam ini sengaja Jimmi sewa sebagai bartender di sana. Tidak mungkin pula Theo memaksa Iris untuk datang ke pesta Jimmi bersamanya setelah kejadian sore tadi, Iris butuh waktu untuk beristirahat dan menenangkan dirinya.
Berbeda dengan Theo, Julian memutuskan untuk memesan wiski yang kadar alkoholnya tiga kali lipat lebih tinggi dari bir. Masa bodoh dengan siapa pun yang akan melaporkan hal ini pada Ms. Clark, Julian ingin melupakan sejenak berbagai masalah yang sedang menghantuinya akhir-akhir ini. Toh dia juga sudah cukup umur, jadi bukan masalah besar.
Diam-diam Theo menelisik penampilan Julian. Ada lebam ungu di ujung bibir dan pelipis kirinya, penampilan sang school captain malam ini juga jauh dari kata rapi. Biasanya, di setiap pesta, apa pun dan siapa pun yang mengundang, Julian akan berpenampilan serapi mungkin walau hanya sebatas menggunakan hoodie dan jeans biru.
Namun sekarang justru tidak ada sedikit pun pomade yang selalu membuat surai hitam Julian tertata rapi hingga memperlihatkan dahi. Surai hitam yang ternyata cukup panjang itu bahkan tampak menjuntai, mampu menutupi mata dan hampir sebagian wajahnya. Benar-benar kacau.
Ingin rasanya Theo bertanya, sekadar ingin tahu apa yang terjadi. Namun urung, menjadi lebih dekat akibat sebuah kasus bukan berarti ia dan Julian berteman bukan? Ia jelas masih menyimpan benci untuk lelaki itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALPAS - LAILA ARMY
Fiksi RemajaTheo kira masa remajanya akan diwarna dengan asmara jatuh cinta, kebebalan tiada tara juga kebebasan tuk bersuara. Namun nyatanya menjadi bagian dari ACME International High School justru membuat Theo terlibat dalam narasi abu-abu penuh intrik. Dipa...