Chapter 12

58 13 0
                                        

[The Truth]

"Mau kuberi pelukan? Kujamin pelukanku lebih hangat dan nyaman dari milik Theo. Dan yang jelas, aku tidak akan membagikan pelukan ini pada siapa pun, bahkan pada ibuku sendiri."

    ***   

Satu sekolah dibuat gempar dengan berita ketua Tim Cheerleader yang ditemukan tak sadarkan diri di ruang penyimpanan alat olahraga, dengan darah yang bercucuran dari pelipis dan perut sebelah kirinya. Membuat pihak sekolah segera melakukan sidak dadakan ke setiap kelas dan menggeledah barang bawaan siswa hingga ke loker, mencari tahu dan menyita setiap benda tajam termasuk gunting dan cutter yang ada.

Hari semakin sore namun sekolah memerintahkan tim security untuk berjaga di gerbang hingga setidaknya ada sosok yang bisa dicurigai untuk kemudian dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Sedangkan seluruh siswa digiring untuk dikumpulkan di dalam aula tanpa ada satu pun yang boleh keluar. Semua ponsel disita dan tidak ada yang bisa mengakses internet—sekali pun untuk menghubungi orangtua.

"Jangan sampai ada satu pun pihak luar yang mengetahui hal ini." Kepala sekolah yang menunjukkan raut murkanya di atas mimbar berbisik pada bawahan. Memastikan tidak ada satu pun yang mengetahui hal ini sebelum sekolah dapat mengambil keputusan lebih jauh.

Yang ada di dalam ruangan hanya bisa saling menoleh satu sama lain, merasa takut dengan atmosfer ACME yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat—mencekam, tidak ada lagi suasana aman dan nyaman sekolah.

"Kami akan segera menemukan pelaku dan menindak tegas siapa pun yang terlibat. Jangan ada satu pun di antara kalian yang mencoba untuk mengelabuhi kami!" Dingin. Kepala sekolah yang dikenal ramah itu tidak membubuhkan senyum wibawa sama sekali.

Julian dipanggil, ia yang bertanggung jawab sebagai school captain jelas terkena imbasnya. Ia hanya bisa berdiri menunduk di samping para guru yang sibuk menggerutu ini-itu. Tubuhnya bahkan masih lemas akibat insiden terkurungnya ia di gedung C beberapa saat yang lalu, namun sekarang ia harus mempertanggung jawabkan posisinya di sekolah.

Ratusan siswa yang dikumpulkan diminta untuk duduk dan menunggu—sementara beberapa guru di luar saling membantu security untuk memeriksa seluruh ruangan termasuk rekaman CCTV.

Di saat siswa yang lain sibuk berbisik satu sama lain—menebak siapa dalang di balik aksi keji itu—Theo hanya dapat bertukar pandang dengan Julian yang berdiri di depan sana. Sedangkan Iris mencoba menenangkan Somi melalui genggaman tangan.

"A-aku tidak menusuknya di pelipis dan perut Iris, aku tidak sengaja menusuk pada lengan kanannya saja. Itu pun hanya sekali, ha-hanya dengan menggunakan pena." Apa yang Somi bisikkan pada Iris itu lagi-lagi sama, gadis yang wajahnya sudah sepucat pasir putih dan tangan yang sudah sedingin es itu tetap bersikukuh pada pengakuannya.

Jelas ini semua berhubungan dengan Somi. Meskipun begitu, ketiganya tidak mungkin mengungkapkan yang sebenarnya pada kepala sekolah bukan?

Theo mengamati sekitar, aula yang cukup untuk sekadar menampung satu sekolah ini tidak begitu istimewa—sama seperti aula pada umumnya, tinggi, luas dan didominasi warna putih. Banyak spekulasi yang timbul di benak Theo saat ini, jika boleh berargumen maka jelas ia akan menyalahkan Somi atas situasi ini. Namun jika dilihat dari pengakuan gadis itu, rasa-rasanya memang bukan ia yang menyebabkan salah satu pentolan Tim Cheerleader sekarat dengan darah di mana-mana.

Terlebih Theo tahu Somi tidak akan mudah menyakiti dengan kekerasan fisik. Mungkin bisa dibilang Somi adalah gadis super narsis dan egois yang begitu menyebalkan, selalu ingin menjadi center dan dipuji seantero sekolah. Tapi Theo cukup paham bahwa Somi tidak semudah itu untuk menyakiti lawannya, gadis itu sebenarnya polos.

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang