Chapter 15

52 10 0
                                    

[The Terror is Back]

"Biar kukatakan sesuatu yang belum pernah kunyatakan. Tentang perasaan yang hanya diketahui oleh kesunyian malam. Langitku diselimuti hitam dan putih tanpa gejolak warna. Lalu kau datang hingga aku tersadar, I need you to color me blue."

***

Coba katakan pada Theo, apa yang akan kalian lakukan jika ada seseoang yang bermain-main denganmu menggunakan bangkai tikus berdarah segar di dalam loker? Melapor pada pihak sekolah? Meminta bantuan guru konseling dan mencoba mencari pembelaan karena telah mengalami bullying? Atau ... segera memberi tahu orangtua dan berlindung di dalam kamar?

Jika kalian mengira Theo akan melakukan hal yang sama, maka jawabannya adalah tidak. Tidak semua hal yang dialami bisa diketahui oleh pihak petinggi, orangtua ataupun siswa lainnya. Tidak, di sini semua hal tidak akan sesederhana yang kalian kira. ACME bukan tempat aman yang selama ini menjadi slogan untuk menarik minat para wali siswa seantero Perth.

Di sini terkadang diam adalah keputusan yang paling tepat.

"Kau ada ide perihal siapa yang mengirimnya?" Julian berjalan memasuki ruang penyimpanan alat pemotong rumput lalu menutup pintu, membiarkan Theo meletakkan sebuah kertas di atas meja tua di tengah ruangan.

U BETTER TO SHUT UP!

Julian bergidik saat mengetahui tulisan di atas kertas lusuh itu berasal dari darah bangkai tikus. Demi apa pun Julian benci darah yang jelas sangat identik dengan warna merah, dan kalian pun tahu apa yang terjadi terakhir kali pada Julian akibat warna merah—di dalam ruangan yang terkunci beberapa waktu lalu.

Theo menghela napas berat, "Mereka mencoba membungkamku tentang apa?"

Julian hanya bisa mengedikkan bahu, merasa tidak memiliki satu pun jawaban yang bisa ia berikan. Keduanya lalu terdiam, sama-sama menatap lembar lusuh berisi ancaman yang Theo temukan di bawah bangkai tikus dalam lokernya, pagi ini.

Siapa pun yang melakukan ini pasti memiliki dendam pada Theo. Dan siapa pun itu, mereka benar-benar memiliki nyali yang cukup besar untuk meneror di lingkungan sekolah.

"Butuh kubantu untuk mengatakan kepada pihak sekolah? Aku yakin mereka akan mempertimbangkan perkataan dari school captain. Bagaimana pun sekolah bertanggung jawab atas keselamatan dan kenyamananmu di sini. Mereka telah berjanji pada orangtuamu." Theo mendengus mendengar kalimat yang Julian ucapkan, sejak kapan mantan temannya itu sudi membantu terlebih menggunakan posisinya—yang diinginkan oleh banyak lawan di sekolah ini. Karena jelas dengan menjadi school captain maka segalanya akan dipermudah, termasuk masalah masa depan perkuliahan, nilai dan apa pun itu.

"Kau tidak perlu repot untuk mengotori tanganmu demi membantu. Aku hanya ingin tahu pendapatmu mengenai dalang di balik teror ini, hanya itu." Julian kemudian hanya mengedikkan bahunya kembali sebagai respon.

Theo yang mengenakan jaket baseball black bean itu kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Mungkin sedang menghubungi sang kekasih dan memintanya untuk menikmati menu makan siang di kantin terlebih dulu—tebak Julian.

Jika dipikir-pikir lagi, mengapa Julian bisa pasrah saat diseret Theo ke ruangan ini setelah kelas sejarahnya berakhir? Ia bisa saja menolak, dan membiarkan Theo untuk menikmati kebingungannya dalam menebak pelaku teror seorang diri. Bukankah selama ini Theo mengetahui lebih banyak hal ketimbang dirinya? Theo lebih unggul darinya, bukan?

Julian benci mengakui ini namun ia harus, Theo memang unggul di segala hal ketimbang dirinya. Pemuda itu selalu berada satu tingkat di atasnya dalam hal apa pun—termasuk perihal Iris.

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang