[Blowing Up]
"Jika rahasiaku nanti terbongkar, kau boleh tidak memberiku maaf. Tapi kau tidak boleh menampik bahwa kita pernah saling mencintai, Theo."
***
Lampu yang selalu menerangi seisi kamar bernuansa biru pastel itu sudah tak lagi menyala untuk beberapa hari belakangan. Yang ada hanya penerangan kecil dari lampu tidur di atas nakas saat malam tiba, juga sedikit bantuan cahaya matahari yang mengintip dari sela korden saat siang hari. Pintu kaca geser yang terhubung langsung dengan balkon—penuh tanaman hias—pun tak lagi terlihat terbuka lebar seperti biasa.
Iris membiarkan kamarnya tertutup rapat, tidak ada cahaya dan tidak ada celah untuk siapa pun di luar sana. Postingan foto setengah bugil—mengganti pakaian di kamar selepas pulang sekolah—yang mampu membuatnya terkejut bukan main itu membuat psikis Iris semakin tertekan. Ia bahkan merasa parno setiap berada di luar rumah.
Ini sudah berjalan dua hari, dan perkataan Julian perihal tidak akan ada siswa lain yang tahu—karena ia dan Yoon telah membereskan postingan itu—tidak terbukti benar adanya. Foto itu memang sudah musnah dari website, namun tangan Julian dan Yoon tidak lebih cepat dari mereka yang terlanjur membuka link dan mengambil screenshoot yang tidak seharusnya mereka lakukan.
Foto itu tetap tersebar. Dan Iris tidak bisa untuk menghindari setiap tatapan siswa di koridor yang sangat ingin tahu. Yang perempuan menggunjing dan berbisik dengan jelas—beberapa menertawai, beberapa lainnya menatap iba dan menyemangati—sedang yang lelaki lebih banyak mencuri pandang ke bagian tubuh yang tidak seharusnya mereka tatap dengan cara seperti itu.
"Are you ok?" Iris tidak ingat sejak kapan Theo berada di dalam kamarnya.
Ia yang tadinya menatap kosong buku di hadapan—mencoba memfokuskan diri dengan belajar dan melupakan apa yang terjadi padanya dalam kurun dua hari belakangan—segera menatap ke arah pintu balkon yang tampak menganga lebar. Theo-nya nekat memanjat dari halaman dan menerobos masuk.
Theo segera menutup pintu rapat-rapat dan mengembalikan posisi korden seperti semula, sehingga tidak ada satu pun dari luar yang mampu mengintip atau bahkan melihat bayangan dari dalam kamar itu.
"Ha-hai," sapa Theo canggung. Pemuda itu membuka tudung hoodie pada kepala dan memperlihatkan senyum kaku.
Theo tahu Iris tidak akan menanggapi atau bahkan gadis itu akan marah karena Theo dengan lancang mengunjunginya tanpa memberi pesan terlebih dahulu—terlebih ia masuk bukan melalui pintu utama rumah. Namun ini satu-satunya cara bagi ia untuk berbicara kembali pada sang gadis. Sudah dua hari ini Iris mengabaikannya dan Theo sangat butuh untuk berbicara empat mata.
Iris hanya bisa menghela napas, ia mempersilahkan Theo untuk duduk di atas ranjang sedangkan ia melangkah ke arah pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Ia tidak mau ayah dan ibunya menemukan Theo di dalam kamar—terlebih setelah keduanya dipanggil sekolah untuk dimintai keterangan atas bocornya foto sang putri.
"Sweets?" Theo mengeluarkan beberapa camilan manis dari dalam saku hoodie lalu meletakkannya tepat di hadapan Iris yang kini sudah duduk menghadapnya.
Iris menggeleng lemah sebagai jawaban. Sekian menit setelahnya mereka berdua hanya diam, Theo tidak tahu harus mengatakan apa selain menggenggam tangan gadisnya dalam diam. Mengelusnya dan mengamati jari jemari lentik Iris yang tampak begitu mungil di tangannya.
Theo tahu Iris-nya sedang tidak dalam mood untuk ia ajak bercanda, pemuda itu tahu Iris tidak butuh untuk dikasihani atau disemangati oleh kata-kata. Theo hanya ingin Iris tahu kalau kehadirannya malam ini adalah bukti bahwa ia akan selalu ada di sampingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALPAS - LAILA ARMY
Teen FictionTheo kira masa remajanya akan diwarna dengan asmara jatuh cinta, kebebalan tiada tara juga kebebasan tuk bersuara. Namun nyatanya menjadi bagian dari ACME International High School justru membuat Theo terlibat dalam narasi abu-abu penuh intrik. Dipa...