Chapter 9

72 15 5
                                        

[A Day with Theo]

"Jika ditatap begitu lama, mungkin netra biru itu mampu membuatnya meleleh dan melebur menjadi satu dengan ombak, terbawa arus hingga terombang-ambing di tengah lautan."

***

Iris lupa kapan terakhir kali ia begitu semangat menyambut pagi. Mungkin dapat dihitung dengan jari sejak ia pindah ke Perth, hanya beberapa kali. Ia bahkan tidak pernah berdiri di hadapan cermin lebih dari lima menit, namun pagi ini ia sudah berkutat di sana hampir dua puluh menit—mematut diri yang bisa dibilang tidak ada bedanya dengan tempo hari, masih dengan surai yang dikucir kuda, wajah polos tanpa perona pipi, dan poni yang menutupi dahi.

Tangannya meraih jas almamater sekolah di atas kasur, mengalungkannya di lengan kiri lalu beralih menuju ransel di atas kursi. Ia kemudian berjalan ke arah rak kayu bagian bawah, tempatnya menata sepatu berdasar urutan warna. Dua menit mengamati, pada akhirnya Iris memilih sepasang sepatu peach yang jarang digunakan—menghindari noda kotor membandel yang susah untuk dibersihkan.

Ting

Tepat saat ikatan terakhir tali sepatu berhasil diselesaikan, sebuah pesan ia terima, Iris mengembangkan senyum lebar bersamaan dengan degup jantung yang membuatnya semakin merasa bahwa pagi ini tidak pernah lebih indah dari sebelumnya.

Setelah usai mematut diri kembali, memeriksa penampilan dari ujung kaki hingga kepala untuk yang terakhir kali, ia sempatkan untuk berjalan ke arah balkon dan menoleh ke arah kanan jalan. Yup, mobil Theo memang sudah ada di sana—lima rumah setelah rumah Iris—seperti apa yang kata pemuda itu katakan melalui pesan singkat beberapa detik yang lalu.

Pagi ini ia tidak perlu lagi berjalan ke arah halte, menanti bus kota yang akan datang lima menit setelah ia duduk manis menunggu, juga menghabiskan perjalanan dengan menyumpal telinga menggunakan earphone.

Cup

Iris mengecup pipi Jacob yang tampak menikmati roti selai Nutella kesukaannya di meja makan. Lalu beralih memeluk Brian yang telah memakai jas rapih dan tengah sibuk membaca koran ditemani secangkir kopi buatan sang istri.

"Pagi, Sayang." Brian balas mengecup dahi putri kesayangannya itu kemudian pria bergerak hendak mengoleskan Nutella ke atas lembaran roti milik Iris.

"Tidak perlu, Pa. Aku akan sarapan di kantin sekolah. Lagi pula ini sudah pukul delapan dan aku tidak mau ketinggalan bus kota." Iris bahkan lupa kapan terakhir kali ia berbohong pada Brian.

Brian mengangguk paham, benar juga, anak gadisnya itu pasti akan ketinggalan bus kota yang sayangnya sangat tepat waktu. Jika saja kantornya lebih dekat dan tidak berlawanan arah mungkin ia bisa mengantar Iris setiap hari. Seharusnya si manis itu tidak perlu menaiki angkutan umum untuk pergi sekolah—setidaknya pengecualian untuk hari ini.

Iris mengerutkan dahi, melemparkan mata ke segala arah, sepertinya pagi ini ia tidak menemukan keberadaan sang ibu sama sekali. "Mama di mana?"

Brian melipat koran lalu meneguk sedikit kopi yang masih mengepulkan asap, "Di ruang kerja, sepertinya ada kesalahan desain yang harus segera diperbaiki dan deadline hanya tinggal beberapa jam lagi."

Iris mengangguk paham, sampai kapan pun pekerjaan memang jauh lebih penting bagi ibunya. Tapi tak apa, masih diakui sebagai anak dan diizinkan untuk tinggal serumah saja sudah sangat lebih dari cukup baginya.

"Baiklah, aku berangkat dulu, Pa. Teman—ah maksudku bus kota mungkin akan segera datang, jadi aku harus bergegas." Secangkir susu hangat sudah berhasil ditandaskan, dikecupnya kembali pipi gembul Jacob sebelum ia benar-benar melangkah menuju pintu utama rumah ini.

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang